BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Baru-baru ini, umat Kristen telah merayaan Natal.
Ternyata, bukan hanya orang Kristen saja yang sibuk dengan Natal, para aktifis
juga sedang sibuk dalam perdebatan ucapan selamat Natal.
“Marry
Christmas” kini menjadi buah bibir masyarakat Muslim di Indonesia, mungkin
tidak di Indonesia saja tapi Muslim di seluruh dunia.
Bolehkan mengucapkan selamat Natal? Pertanyaan
seperti itu sedang ramai-ramainya dibicarakan. Ada ulama yang melarang dengan
argumentasi dan dalil, bahkan ada yang menolak keras ucapan selamat Natal,
namun ada juga yang membolehkannya.
Kebiasaan mengucapkan “selamat Natal” di Indonesia,
sebagaimana di negara-negara lain dilakukan bukan hanya oleh orang-orang
Kristen, tetapi juga oleh orang-orang non-Kristen, termasuk kaum muslim. Kita
juga serig menyaksikan ucapan selamat Natal di Negeri ini datang dari
saudara-saudara mereka yang beragama Islam.
Misalnya kita sering menyaksikan banyak artis,
pembawa acara dan penyiar yang beragama Islam mengucapkan selamat Natal dan
hari besar agama lain lewat media-media, baik cetak dan elektronik. Atau contoh
praktik mengucapkan selamat Natal atau hari besar agama lain (non Islam) oleh
Presiden, padahal kita ketahui bahwa semua Presiden kita beragama Islam.[4] Di
sinilah terjadi banyak perdebatan mengenai hukum orang Islam yang mengucapkan
“selamat Natal” atau mengucapkan selamat hari raya kepada umat agama lain.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Sejarah Natal
Menurut Islam
1.2.2
Pendapat yang
Mengharamkan Mengucapkan Selamat Natal
1.2.3
Pendapat yang
Memperbolehkan Mengucapkan Selamat Natal
1.3
Tujuan Masalah
1.3.1
Mengetahui
Sejarah Natal Menurut Islam
1.3.2
Mengetahui Pendapat-pendapat yang Mengharamkan
Mengucapkan Selamat Natal
1.3.3
Mengetahui
Pendapat-pendapat yang Memperbolehkan Mengucapkan Selamat Natal
1.4
Manfaat Masalah
Manfaat permasalahan kali ini adalah agar kita bisa
mempertimbangkan dan menyimpulkan hukum mengucapkan selamat Natal untuk umat
Kristiani.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Natal Menurut Islam
Kata natal berasal dari bahasa Latin yang berarti
lahir. Namun secara istilah natal berarti upacara yang dilakukan oleh umat
Kristiani untuk memperingati hari kelahiran Isa Al-Masih, yang mereka sebut
dengan Tuhan Yesus.
Kata Christmas (Natal) yang artinya Mass of Christ
atau disingkat Christ-Mass, diartikan sebagai hari untuk merayakan kelahiran
"Yesus". Perayaan yang diselenggarakan oleh non-Kristen dan semua
orang Kristen ini berasal dari ajaran Gereja Kristen Katholik Roma. Tetapi, sebab
Natal itu bukan ajaran Bibel (Alkitab), dan Yesus pun tidak pernah memerintah
para muridnya untuk menyelenggarakannya. Perayaan yang masuk dalam ajaran
Kristen Katholik Roma pada abad ke-4 ini berasal dari upacara adat masyarakat
penyembah berhala.
Perayaan Natal yang diselenggarakan di seluruh dunia
ini berasal dari Katholik Roma, dan tidak memiliki dasar dari kitab suci,
sesuai dengan penjelasan dari Katholik Roma dalam Catholic Encyclopedia, edisi
1911, dengan judul: Christmas, di sini ditemukan kalimat yang berbunyi sebagai
berikut: "Christmas was not among
the earliest festivals of Church...the first evidence of the feast is from
Egypt. Pagan customs centering around the January calends gravitated to
Christmas". Artinya: "Natal
bukanlah upacara Gereja yang pertama….melainkan ia diyakini berasal dari
Mesir. Perayaan yang diselenggarakan oleh para penyembah berhala dan jatuh pada
bulan Januari, kemudian dijadikan hari kelahiran Yesus".
Peringatan Natal baru tercetus antara tahun 325-254
SM oleh Paus Liberus yang ditetapkan pada tanggal 25 Desember, sekaligus
sebagai momentum penyembahan Dewa Matahari, yang kadang juga diperingati pada
tanggal 6 Januari, 28 April, 18 Mei, atau 18 Oktober. Kemudian, oleh Kaisar
Konstantin tanggal 25 Desember tersebut akhirnya disahkan sebagai hari kelahiran
Yesus.
Untuk menyikap tabir Natal yang diperingati pada
tanggal 25 Desember yang diyakini sebagai hari kelahiran Yesus, maka dapat
disimak apa yang diberitakan oleh Bibel (injil) tentang kelahiran Yesus,
sebagaimana yang dijelaskan dalam Injil Lukas (2): 1-8 dan Injil Matius (2): 1
dan 10-11 (Adapun Injil Markus dan Yohanes tidak menuliskan kisah kelahiran
Yesus).
Bibel (Injil) Lukas (2): 1-8 berbunyi, “Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan
suatu perintah, menyuruh untuk mendaftarkan semua orang di seluruh dunia.
Inilah pendaftaran pertama kali diadakan sewaktu Kirenius menjadi wali negeri
di Siria. Maka pergilah semua orang mendaftarkan diri masing-masing di kotanya.
Demikian juga Yusuf pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea ke kota Daud yang
bernama Betlehem, karena ia berasal dari keluarga dan keturunan Daud, supaya
didaftarkan bersama-sama dengan Maria, tunangannya yang sedang mengandung.
Ketika mereka di situ, tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin dan ia
melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya
dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat
bagi mereka di rumah penginapan. Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal
di padang sedang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam”.
Bibel (Injil) Matius (2): 1 dan 10-11 berbunyi, “Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di
tanah Yudea pada zaman Herodus datangalah orang-orang Majus dari Timur ke
Yerussalem. Ketika mereka melihat bintang itu sangat bersuka citalah mereka.
Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat anak itu bersama maria,
ibunya”.
Wahai saudaraku, perhatikanlah isi kedua Bibel di
atas, terutama kata atau kalimat yang bercetak tebal. Maka, dapat diketahui
bahwa terdapat pertentangan yang cukup jelas antara kedua Bibel tersebut dalam
menjelaskan kelahiran Yesus. Pada Bibel Lukas dijelaskan bahwa Yesus lahir pada
zaman Kaisar Agustus, sedangkan Bibel Matius pada zaman Herodus. Kemudian,
kalau dipahami isi Bibel di atas, maka akan diketahui bahwa pada hakikatnya
kedua Bibel tersebut dengan sendirinya telah menolak mentah-mentah kelahiran
Yesus pada tanggal 25 Desember.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ” Maka rasa
sakit akan melahirkan memaksa ia (Maryam) bersandar pada pangkal pohon kurma,
ia berkata, ’Aduhai, alangkah baik aku mati sebelum ini, dan aku menjadi
sesuatu yang tidak berarti lagi dilupakan.’ Maka Malaikat Jibril menyerunya
dari tempat yang rendah, ’Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu
telah menjadikan anak sungai di bawahmu.’ Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma
itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak
kepadamu.” [QS. Maryam (19): 23-25]
Jadi, menurut Al-Qur’an bahwa Isa Al-Masih
dilahirkan pada musim panas disaat pohon-pohon kurma berbuah dengan lebatnya.
Tidak berlebihan jika mencoba meminjam pendapat
sarjana Kristen bernama Dr. Arthur S. Peak. Beliau mengatakan bahwa sebenarnya
Yesus lahir dalam bulan Elul (Bulan Yahudi), bersamaan dengan bulan Agustus
sampai September. [Lihat Sholeh A. Nahdi, Bibel dalam Timbangan, hal. 32]
Kemudian, tidak salah juga jika mengutip tulisan Dr.
Charles Franciss Petter yang mengatakan, “…Kesulitan
menentukan tanggal kelahiran Yesus, kehidupannya, kematiannya terpaksa
ditimbulkan kembali karena adanya keterangan-keterangan yang banyak terdapat
dalam gulungan-gulungan Essene (yang terdapat di gua Qamran…” [Lihat Dr.
Charles Franciss Petter, The Lost of Jesus Revealed , hal 119]
Ternyata antara pemahaman yang beredar di kalangan
umat Kristen tentang kelahiran Yesus, sebagaimana yang telah disampaikan oleh
Bibel tidaklah menunjukkan suatu kepastian, sehingga banyak dari
ilmuwan-ilmuwan mereka yang mengatakan bahwa Yesus lahir pada tahnu 8 SM, tahun
6 SM, dan tahun sesudah Masehi. [Lihat Irena Handono, Perayaan Natal 25
Desember: Antara Dogma dan Toleransi, hal. 25]
Dalam kajian tersebut ditegaskan bahwa telah terjadi
kesalahan sejarah dan penyelewengan literatur dalam kitab injil yang
menunjukkan bahwa Nabi Isa as lahir pada tanggal 25 Desember.
Kelahiran Nabi Isa as. Padahal dalam Injil Lucas
menjelaskan bahwa Nabi Isa as lahir pada masa musim gugur, yakni sekitar pada
bulan Maret. Sebagai rujukan atau landasan, Al-Qur'an juga menjelaskan bahwa
Nabi Isa as lahir di bawah pohon kurma yang saat itu banyak buahnya. Hal ini
berarti Nabi Isa as lahir pada musim gugur.
Perhatikan ayat berikut ini,
فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا ٢٢
“Maka Maryam
mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang
jauh.” [QS. Maryam: 22]
فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ
يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا ٢٣
”Maka rasa sakit
akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia
berkata: "Aduhai, Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi
barang yang tidak berarti, lagi dilupakan". [QS. Maryam: 23]
فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ
رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا ٢٤
“ Maka Jibril
menyerunya dari tempat yang rendah: "Janganlah kamu bersedih hati,
Sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” [QS. Maryam: 24]
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ
رُطَبًا جَنِيًّا ٢٥
“ dan goyanglah
pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah
kurma yang masak kepadamu,” [QS. Maryam: 25]
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ
مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ
الْيَوْمَ إِنْسِيًّا ٢٦
“ Maka makan,
minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka
Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang
Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari
ini". [QS. Maryam: 26]
Dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa kelahiran Nabi
Isa as adalah bukan 25 Desember, melainkan pada musim gugur kurma, karena
Maryam mengambil kurma untuk makanan mereka berdua.Tidak dijelaskan secara
detail kapan Nabi Isa as lahir, namun dari literatur dan kitab Injil menyatakan
bahwa Nabi Isa as lahir sekitar bulan Maret, musim gugur. Rakyat Konstantinopel
memperingati kelaharian Isa dengan menyembah dewa matahari pada musim gugur.
Akan tetapi, Paulus Liberus di Roma pada abad ke-4
Masehi mengubah literatur Injil dengan menyebutkan Yesus lahir pada 25
Desember. Hal itu diperuntukkan untuk menyatukan umat Kristen dan Katolik dalam
perayaan Natal, karena sesungguhnya perayaan Natal itu sendiri merupakan budaya
dari umat Katolik Roma pada masa Kaisar Konstantinopel.
Kaisar Konstantin melakukan persembahan dan perayaan
untuk menyembah dewa matahari pada musim gugur, kemudian diikuti oleh rakyat
yang akhirnya dikenal dengan Natal.
Jadi, dalam Al Qur'an telah menunjukkan bahwa Hari
Natal, Hari Kelahiran Nabi Isa as bukan tanggal 25 Desember, melainkan pada
musim gugur kurma, yakni sekitar bulan Maret.
2.2 Pendapat yang Mengharamkan Mengucapkan Selamat
Natal
Sesungguhnya
permasalahan mengucapkan selamat kepada perayaan orang-orang kafir bukanlah
permasalahan yang baru, para ulama terdahulu telah membahas permasalahan ini. Akan
tetapi ternyata kita dapati bahwa para ulama telah berijmak (sepakat) bahwa
memberi ucapan atas perayaan orang-orang kafir hukumnya haram. Berikut
perkataan para ulama dari 4 madzhab tentang permasalahan ini:
2.2.1 Madzhab
Hanafiyah
Dalam kitab-kitab fikih madzhab Hanafi termaktub
sebagai berikut:
قَالَ - رَحِمَهُ اللَّهُ - (وَالْإِعْطَاءُ بِاسْمِ النَّيْرُوزِ
وَالْمِهْرَجَانِ لَا يَجُوزُ) أَيْ الْهَدَايَا بِاسْمِ هَذَيْنِ الْيَوْمَيْنِ حَرَامٌ
بَلْ كُفْرٌ وَقَالَ أَبُو حَفْصٍ الْكَبِيرُ - رَحِمَهُ اللَّهُ - لَوْ أَنَّ رَجُلًا
عَبَدَ اللَّهَ تَعَالَى خَمْسِينَ سَنَةً ثُمَّ جَاءَ يَوْمُ النَّيْرُوزِ وَأَهْدَى
إلَى بَعْضِ الْمُشْرِكِينَ بَيْضَةً يُرِيدُ تَعْظِيمَ ذَلِكَ الْيَوْمِ فَقَدْ كَفَرَ
وَحَبَطَ عَمَلُهُ وَقَالَ صَاحِبُ الْجَامِعِ الْأَصْغَرِ إذَا أَهْدَى يَوْمَ النَّيْرُوزِ
إلَى مُسْلِمٍ آخَرَ وَلَمْ يُرِدْ بِهِ تَعْظِيمَ الْيَوْمِ وَلَكِنْ عَلَى مَا اعْتَادَهُ
بَعْضُ النَّاسِ لَا يَكْفُرُ وَلَكِنْ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ لَا يَفْعَلَ ذَلِكَ فِي
ذَلِكَ الْيَوْمِ خَاصَّةً وَيَفْعَلُهُ قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ لِكَيْ لَا يَكُونَ
تَشْبِيهًا بِأُولَئِكَ الْقَوْمِ، وَقَدْ قَالَ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
- مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.
Abul
Barokaat An-Nasafi Al-Hanafi (wafat 710 H) berkata : "Dan memberikan
hadiah dengan nama hari raya Nairus dan Mihrojaan tidak diperbolehkan".
Yaitu memberikan hadiah-hadiah dengan nama kedua hari raya ini adalah haram
bahkan kekufuran. Berkata Abu Hafsh Al-Kabiir rahimahullah: "Kalau
seandainya seseorang menyembah Allah Ta'aalaa selama 50 tahun kemudian tiba
hari perayaan Nairuz dan ia memberi hadiah sebutir telur kepada sebagian kaum
musyrikin, karena ia ingin mengagungkan hari tersebut maka ia telah kafir dan
telah gugur amalannya". Penulis kitab Al-Jaami' As-Ashghor berkata:
"Jika pada hari raya Nairuz ia memberikan hadiah kepada muslim yang lain,
dan dia tidak ingin mengagungkan hari tersebut akan tetapi hanya mengikuti
kebiasaan/ tradisi sebagian masyarakat maka ia tidaklah kafir, akan tetapi
hendaknya ia tidak melakukannya pada hari tersebut secara khusus, namun ia
melakukannya sebelum atau sesudah hari tersebut agar tidak merupakan tasyabbuh
dengan mereka. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda (Barang
siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk dari mereka).
2.2.2 Madzhab Malikiyah
Berkata Ibnu Al-Haaj Al-Maliki (wafat 737 H):
وَبَقِيَ الْكَلَامُ عَلَى الْمَوَاسِمِ الَّتِي اعْتَادَهَا
أَكْثَرُهُمْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ أَنَّهَا مَوَاسِمُ مُخْتَصَّةٌ بِأَهْلِ الْكِتَابِ
فَتَشَبَّهَ بَعْضُ أَهْلِ الْوَقْتِ بِهِمْ فِيهَا وَشَارَكُوهُمْ فِي تَعْظِيمِهَا
يَا لَيْتَ ذَلِكَ لَوْ كَانَ فِي الْعَامَّةِ خُصُوصًا وَلَكِنَّك تَرَى بَعْضَ مَنْ
يَنْتَسِبُ إلَى الْعِلْمِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ... بَلْ زَادَ بَعْضُهُمْ أَنَّهُمْ يُهَادُونَ
بَعْضَ أَهْلِ الْكِتَابِ فِي مَوَاسِمِهِمْ وَيُرْسِلُونَ إلَيْهِمْ مَا يَحْتَاجُونَهُ
لِمَوَاسِمِهِمْ فَيَسْتَعِينُونَ بِذَلِكَ عَلَى زِيَادَةِ كُفْرِهِمْ ...
وَقَدْ جَمَعَ هَؤُلَاءِ بَيْنَ التَّشَبُّهِ بِهِمْ فِيمَا
ذُكِرَ وَالْإِعَانَةِ لَهُمْ عَلَى كُفْرِهِمْ فَيَزْدَادُونَ بِهِ طُغْيَانًا إذْ
أَنَّهُمْ إذَا رَأَوْا الْمُسْلِمِينَ يُوَافِقُونَهُمْ أَوْ يُسَاعِدُونَهُمْ، أَوْ
هُمَا مَعًا كَانَ ذَلِكَ سَبَبًا لِغِبْطَتِهِمْ بِدِينِهِمْ وَيَظُنُّونَ أَنَّهُمْ
عَلَى حَقٍّ وَكَثُرَ هَذَا بَيْنَهُمْ. أَعْنِي الْمُهَادَاةَ حَتَّى إنَّ بَعْضَ
أَهْلِ الْكِتَابِ لَيُهَادُونَ بِبَعْضِ مَا يَفْعَلُونَهُ فِي مَوَاسِمِهِمْ لِبَعْضِ
مَنْ لَهُ رِيَاسَةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَقْبَلُونَ ذَلِكَ مِنْهُمْ وَيَشْكُرُونَهُمْ
وَيُكَافِئُونَهُمْ. وَأَكْثَرُ أَهْلِ الْكِتَابِ يَغْتَبِطُونَ بِدِينِهِمْ وَيُسَرُّونَ
عِنْدَ قَبُولِ الْمُسْلِمِ ذَلِكَ مِنْهُمْ
Tersisa pembicaraan tentang musim-musim (hari-hari
raya) yang biasa dilakukan oleh kebanyakan mereka padahal mereka mengetahui
bahwasanya hari-hari raya tersebut adalah khusus hari raya ahul kitab. Maka
sebagian orang zaman ini bertasyabbuh dengan mereka (ahlul kitab), menyertai
mereka dalam mengagungkan hari-hari raya tersebut. Duhai seandainya tasyabbuh
tersebut hanya dilakukan oleh orang-orang muslim awam, akan tetapi engkau
melihat sebagian orang yang berafiliasi kepada ilmu juga melakukan hal tersebut
…
Bahkan sebagian mereka lebih parah lagi hingga
mereka memberikan hadiah kepada sebagian ahlul kitab pada hari-hari raya
mereka, mengirimkan untuk mereka apa yang mereka butuhkan dalam perayaan
mereka, sehingga dengan hal ini para ahlul kitab terbantukan untuk lebih
terjerumus dalam kekafiran…
Maka
mereka telah menggabungkan antara tasyabbuh dengan ahlul kitab…dan membantu
mereka dalam kekafiran mereka. Maka ahlul kitab semakin parah kekufuran mereka,
karena jika mereka melihat kaum mulsimin menyepakati/ bertasyabbyh dengan
mereka atau membantu mereka atau sekaligus dua-duanya, maka hal ini merupakan
sebab menjadikan mereka senang/ bangga dengan agama mereka, dan mereka
menyangka bahwasanya mereka berada di atas kebenaran, dan inilah yang banyak
terjadi pada mereka, maksudku adalah saling memberi hadiah. Sampai-sampai
sebagian ahlul kitab sungguh memberikan hadiah berupa sebagian hasil hari raya
mereka kepada sebagaian orang yang memiliki kepemimpinan dari kalangan kaum
muslimin, lalu merekapun menerima hadiah tersebut dan berterima kasih memberi
balasan kepada para pemberi hadiah (ahlul kitab). Dan mayoritas ahlul kitab
bangga dengan agama mereka serta bergembira tatkala ada seorang muslim yang
menerima hadiah hari raya mereka.
2.2.3 Madzhab
Syafi'iyyah
Para ulama madzhab Syafi'iyyah telah mengharamkan
mengucapkan selamat atas hari raya orang-orang kafir. Bahkan orang yang memberi
selamat ini berhak untuk dita'zir (dihukum) .
Al-Khothiib Asy-Syarbini berkata:
http://www.firanda.com/images/pic-article/bthn-quraish-syihab.jpg
"Dan dita'ziir (dihukum) orang yang menyepakati
orang-orang kafir dalam perayaan-perayaan mereka. Demikian juga dita'zir orang
yang memegang ular dan masuk dalam api, dan orang yang berkata kepada kafir
dzimmi "Yaa Haaji", dan orang yang memberi selamat kepada perayaan
orang kafir, dan orang yang menamakan penziarah kuburan orang-orang sholeh
sebagai haji, dan orang yang berusaha melakukan namimah".
Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata:
ثُمَّ رَأَيْت بَعْضَ أَئِمَّتِنَا الْمُتَأَخِّرِينَ ذَكَرَ
ما يُوَافِقُ ما ذَكَرْتُهُ فقال وَمِنْ أَقْبَحِ الْبِدَعِ مُوَافَقَةُ الْمُسْلِمِينَ
النَّصَارَى في أَعْيَادِهِمْ بِالتَّشَبُّهِ بِأَكْلِهِمْ وَالْهَدِيَّةِ لهم وَقَبُولِ
هَدِيَّتِهِمْ فيه وَأَكْثَرُ الناس اعْتِنَاءً بِذَلِكَ الْمِصْرِيُّونَ وقد قال صلى
اللَّهُ عليه وسلم من تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ منهم بَلْ قال ابن الْحَاجِّ لَا يَحِلُّ
لِمُسْلِمٍ أَنْ يَبِيعَ نَصْرَانِيًّا شيئا من مَصْلَحَةِ عِيدِهِ لَا لَحْمًا وَلَا
أُدْمًا وَلَا ثَوْبًا، وَلَا يُعَارُونَ شيئا وَلَوْ دَابَّةً إذْ هو مُعَاوَنَةٌ
لهم على كُفْرِهِمْ، وَعَلَى وُلَاةِ الْأَمْرِ مَنْعُ الْمُسْلِمِينَ من ذلك.
"Kemudian aku melihat sebagian imam-imam kami
dari kalangan mutakhirin (belakangan) telah menyebutkan apa yang sesuai dengan
apa yang telah aku sebutkan. Ia berkata: "Dan diantara bid'ah yang paling
buruk adalah kaum muslimin menyepakati kaum nashrani dalam perayaan-perayaan
mereka, yaitu dengan meniru-niru mereka dengan memakan makanan mereka, memberi
hadiah kepada mereka, menerima hadiah dari mereka. Dan orang yang paling
memberi perhatian akan hal ini adalah orang-orang Mesir. Padahal Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, "Barang siapa yang
meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk dari mereka"
Bahkan
Ibnul Haaj telah berkata, "Tidak halal bagi seorang muslim untuk menjual
bagi seorang nashrani apapun juga yang berkaitan dengan kemaslahatan perayaan
mereka, baik daging, sayur, maupun baju. Dan tidak boleh kaum muslimin
meminjamkan sesuatupun juga kepada mereka meskipun hanya meminjamkan hewan
tunggangan karena ini adalah bentuk membantu mereka dalam kekafiran mereka. Dan
wajib bagi pemerintah untuk melarang kaum muslimin dari hal tersebut".
2.2.4 Madzhab
Hanbali
Dalam kitab Al-Iqnaa' :
ويحرم شهود عيد اليهود والنصارى وبيعه لهم فيه ومهاداتهم
لعيدهم ويحرم بيعهم ما يعملونه كنيسة أو تمثالا ونحوه وكل ما فيه تخصيص كعيدهم وتمييز
لهم وهو من التشبه بهم والتشبه بهم منهي عنه إجماعا وتجب عقوبة فاعله
"Dan
haram menyaksikan perayaan yahudi dan nashoro, dan haram menjual kepada mereka
dalam perayaan tersebut serta haram memberi hadiah kepada mereka karena hari
raya mereka. Haram menjual kepada mereka apa yang mereka gunakan (dalam acara
mereka) untuk membuat gereja atau patung dan yang semisalnya (seperti untuk
buat salib dll). Dan haram seluruh perkara yang yang menunjukkan pengkhususan
mereka seperti perayaan mereka, dan seluruh perkara yang menunjukkan pembedaan
bagi mereka, dan ini termasuk bentuk tasyabbuh (meniru-niru) mereka, dan
bertayabbuh dengan mereka diharamkan berdasarkan ijmak (kesepakatan/ konsus)
para ulama. Dan wajib memberi hukuman kepada orang yang melakukan hal
ini".
Ijmak ulama akan hal ini telah disebutkan oleh Ibnul
Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya "Ahkaam Ahli Adz-Dzimmah", beliau
berkata:
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل
أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن
سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم
إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه.
وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل
"Adapun memberi selamat terhadap
perayaan-perayaan kufur yang khusus maka hukumnya haram berdasarkan kesepakatan
(para ulama) seperti seseorang (muslim) memberi selamat kepada mereka
(orang-orang kafir) atas perayaan-perayaan mereka. Maka ia berkata
"Perayaan yang diberkahi atasmu…" atau "Selamat gembira dengan
perayaan ini" atau yang semisalnya. Maka perbuatan seperti ini –kalau
pengucapnya selamat dari kekufuran- maka perbuatan ini merupakan keharaman, dan
kedudukannya seperti jika ia memberi ucapan selamat kepada orang yang sujud ke
salib. Bahkan hal ini lebih parah dosanya di sisi Allah dan lebih di murkai
dari pada jika ia mengucapkan selamat kepada orang yang minum khomr (bir) atau
membunuh orang lain, atau melakukan zina dan yang semisalnya. Banyak orang yang
tidak memiliki ilmu agama yang cukup terjerumus dalam hal ini, dan mereka tidak
tahu akan buruknya perbuatan mereka."
Syaikh Ali Mahfudz Al Azhary berkata:
مما ابتلي به المسلمون وفشا بين العامة والخاصة مشاركة
أهل الكتاب من اليهود والنصارى في كثير من مواسمهم كاستحسان كثير من عوائدهم ، وقد
كان صلى الله عليه وسلم يكره موافقة أهل الكتاب في كل أحوالهم حتى قالت اليهود أن محمداً
يريد ألا يدع من أمرنا شيئاً إلا خالفنا فيه .. فانظر هذا مع ما يقع من الناس اليوم
من العناية بأعيادهم وعاداتهم ، فتراهم يتركون أعمالهم من الصناعات والتجارات والاشتغال
بالعلم في تلك المواسم ويتخذونها أيام فرح وراحة يوسعون فيها على أهليهم ويلبسون أجمل
الثياب ويصبغون فيها البيض لأولادهم كما يصنع أهل الكتاب من اليهود والنصارى ، فهذا
وما شاكله مصداق قول النبي صلى الله عليه وسلم في الحديث الصحيح "لتتبعن سَنن
من قبلكم شبراً بشبر وذراعاً بذراع حتى لو دخلوا جحر ضب لتبعتموهم" قلنا : يا
رسول الله ، اليهود والنصارى ؟ قال " فمن غيرهم" رواه البخاري عن أبي سعيد
الخدري رضي الله عنه .. فعلى من يريد السلامة في دينه وعرضه أن يحتجب في بيته في ذلك
اليوم المشئوم ويمنع عياله وأهله وكل من تحت ولايته عن الخروج فيه حتى لا يشارك اليهود
والنصارى في مراسمهم والفاسقين في أماكنهم ويظفر بإحسان الله ورحمته
"Diantara musibah yang menimpa kaum muslimin
baik kalangan awam ataupun orang-orang khusus adalah ikut sertanya kaum
muslimin pada perayaan hari-hari besar mereka (ahli kitab) baik yahudi maupun
nasrani, serta menganggap baik perayaan hari besar mereka. Padahal Rasulullah
shallahu alaihi wasallam sangat membenci sikap menyamai ahli kitab dalam hal
apapun. Sampai-sampai orang yahudi berkata: "Sesungguhnya Muhammad tidak
meninggalkan sesuatu dari urusan kami melainkan dia menyelisihi kami dalam
urusan itu.."
Bandingkan sikap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
dengan realita yang terjadi pada manusia hari ini, yaitu dengan turut sertanya
mereka dalam perayaan dan kebiasaan ahli kitab. Engkau dapati pada hari-hari
besar itu kaum muslimin meninggalkan pekerjaan mereka baik dipabrik-dipabrik
atau meninggalkan perdagangannya dan kesibukannya dalam menuntut ilmu. Mereka
menjadikan hari-hari itu sebagai hari untuk bergembira dan rehat. Mereka
memanjakan keluarga, memakai baju baru, mewarnai telur untuk anak-anak
sebagaimana yang dilakukan oleh ahli kitab dari kalangan yahudi dan nashrani.
Hal ini dan yang semisalnya merupakan bukti kebenaran sabda Rasulullah shallahu
alaihi wasallam dalam hadits shohih.
"Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan
orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Hingga
apabila mereka masuk kedalam lubang dhob, kalian juga akan mengikutinya. Kami
berkata: Ya Rasullah, Apakah mereka orang-orang yahudi dan nasrani, Rasul
bersabda, "siapa lagi kalau bukan mereka..?" (HR. Bukhori dari Abi
said Al Khudry radhiallahu anhu).
Oleh karenanya, bagi siapa saja yang menginginkan
keselamatan terhadap agama dan kehormatannya. Maka hendaklah dia tetap berada
di rumahnya dan melarang anak-anak dan keluarganya atau siapa saja yang berada
dibawah tanggungannya untuk keluar pada hari itu. Juga mencegah mereka agar
tidak ikut serta dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani pada kegiatan mereka
serta kegiatan orang-orang fasiq ditempat-tempat mereka".
Dalil
Naqli Mengenai Ucapan Selamat Natal untuk Umat Kristiani
Terdapat beberapa hadits Nabi yang berkenaan dengan
larangan bertasyabbuh. Orang-orang muslim yang memberi ucapan atas hari besar
umat non muslim dapat disamakan halnya dengan tasyabbuh. Secara umum, umat muslim dilarang menyerupai
kafir dalam hal yang menjadi kekhususan mereka. Penyerupaan inilah yang dikenal
dengan istilah tasyabbuh. Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50
dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan bahwa
sanad hadits ini jayyid/ bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan termasuk
golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengemukakan alasan mengapa sampai umat
muslim dilarang meniru-niru orang kafir secara lahiriyah. Beliau berkata:
أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ
تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ
مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ
“Keserupaan dalam
perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan.
Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir”. (Majmu’ Al
Fatawa, 22: 154).
Beliau juga berkata:
فَإِذَا كَانَ هَذَا فِي التَّشَبُّهِ بِهِمْ وَإِنْ كَانَ
مِنْ الْعَادَاتِ فَكَيْفَ التَّشَبُّهُ بِهِمْ فِيمَا هُوَ أَبْلَغُ مِنْ ذَلِكَ ؟!
“Jika dalam
perkara adat (kebiasaan) saja kita dilarang tasyabbuh dengan mereka, bagaimana
lagi dalam perkara yang lebih dari itu?!”. (Majmu’ Al Fatawa, 25: 332)
Berdasarkan
dalil aqli di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwasanya Rasulullah SAW
melarang umatnya untuk bertasyabbuh/ menyerupai kaum kafir, termasuk mengenai
pemberian ucapan pada perayaan umat non muslim.
Analisis
Penalaran Hukum Mengenai Ucapan Selamat Natal untuk Umat Kristiani
Melalui penalaran ta’lili yang berbentuk qiyasi,
kandungan makna hadist di atas, akan dianalisis dengan menggunakan
pendekatan illat. Illat qiyasi adalah
illat yang digunakan untuk mengetahui apakah ketentuan yang berlaku terhadap
suatu masalah dijelaskan oleh suatu
dalil nash dapat diberlakukan pada ketentuan lain yang tidak dijelaskan oleh
dalil nash karena adanya kesamaan diantara keduanya. Dengan kata lain,
ketentuan pada masalah pertama yang ada nash dalilnya diberlakukan pada dalil
kedua yang tidak terdapat dalil nashnya karena ada kesamaan illat. Dalam ushul
fiqh inilah yang dinamakan dengan qiyas.
Sesuai dengan pengertian di atas, apabila ada suatu
peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan oleh suatu nash dan illat hukumnya
telah diketahui menurut salah satu cara dari cara-cara mengetahui illat hukum,
kemudian didapatkan suatu peristiwa lain yang illat hukumnya tidak ditetapkan
oleh nash, tetapi illatnya sama dengan illat hukum peristiwa yang mempunyai
nash tersebut, maka hukum peristiwa yang yang tidak ada nashnya ini disamakan
dengan hukum peristiwa yang ada nashnya lantaran adanya persamaan illat hukum
pada kedua peristiwa tersebut.
Dalam persoalan mengucapkan selamat Natal kepada
umat Kristiani, dapat diqiyaskan dengan persoalan tasyabbuh yang telah terdapat
nash-nya. Menurut hadits di atas maka dapat ditentukan beberapa unsur dan
persyaratan (rukun) yang harus dipenuhi dalam qiyas sebagai berikut:
1. Ashal : yaitu masalah pokok (maqis
‘alaih) adalah suatu peristiwa yang sudah ada nashnya. Dalam hal ini ialah
tindakan kaum muslim di zaman Rasulullah dulu yang mengikuti adat istiadat kaum
non muslim/ kafir.
2. Far’u
(cabang) : yaitu peristiwa yang tidak
ada nashnya dan peristiwa itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya.
Far’u ini juga disebut maqis. Dalam hal ini ialah ucapan selamat Natal kepada
umat Kristiani.
3. Hukum ashal : Dalam hal ini ialah haram karena dianggap
sebagai tasyabbuh. Dan Rasulullah telah melarang hal tersebut sesuai dengan
hadits di atas.
4. Illat : yaitu suatu sifat atau
keadaan yang terdapat pada peristiwa ashal dan peristiwa far’u (cabang). Dalam
hal ini ialah “tasyabbuh” tersebut yang diposisikan sebagai iilat, karena
banyaknya pendapat ulama’ yang berpendapat demikian, sehingga diperoleh illat
yang sama. Maka, hukum illat di kasus hukum masa yang sebelumnya masih bisa
berlaku dengan illat hukum kasus yang seperti ini pula di masa sekarang.
Adapun pendapat yang lainnya:
Ibnul Qoyyim al-Jauziyah (Ahkam Ahl al-Dzimmah,
I/441) dan para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baz, Syeikh Ibnu Utsaimin—semoga
Allah merahmati mereka—serta yang lainnya seperti Syeikh Ibrahim bin Muhammad
al Huqail berpendapat bahwa mengucapkan selamat Hari Natal hukumnya adalah
haram karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama mereka. Allah
tidak meridhai adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya di dalam
pengucapan selamat kepada mereka adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka
dan hal ini diharamkan.
Di antara bentuk-bentuk tasyabbuh adalah ikut serta
di dalam hari raya tersebut dan mentransfer perayaan-perayaan mereka ke
negeri-negeri Islam.
Mereka juga berpendapat wajib menjauhi berbagai
perayaan orang-orang kafir, menjauhi dari sikap menyerupai perbuatan-perbuatan
mereka, menjauhi berbagai sarana yang digunakan untuk menghadiri perayaan
tersebut, tidak menolong seorang muslim di dalam menyerupai perayaan hari raya
mereka, tidak mengucapkan selamat atas hari raya mereka serta menjauhi
penggunaan berbagai nama dan istilah khusus di dalam ibadah mereka.
Pemberian ucapan selamat Natal baik dengan lisan,
telepon, sms, email ataupun pengiriman kartu berarti sudah memberikan pengakuan
terhadap agama mereka dan rela dengan prinsip-prinsip agama mereka. Hal ini
dilarang oleh Allah swt dalam firman-Nya:
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ
اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ
لَكُمْ Ÿ
Artinya : “Jika kamu
kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai
kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu
kesyukuranmu itu.” (QS. Az Zumar : 7)
Jadi pemberian ucapan Selamat Hari Natal kepada
orang-orang Nasrani baik ia kerabat, teman dekat, tetangga, teman kantor, teman
sekolah dan lainnya adalah haram hukumnya.
Islam memerintahkan setiap umatnya untuk bisa
membedakan penampilannya dari orang-orang non muslim, sebagaimana sabda
Rasulullah saw:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ
أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
”Bedakanlah dirimu dari orang-orang musyrik,
panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibn
Umar ra)
Islam melarang umatnya untuk meniru-niru berbagai
perilaku yang menjadi bagian ritual keagamaan tertentu di luar Islam atau
mengenakan simbol-simbol yang menjadi ciri khas mereka seperti mengenakan salib
atau pakaian khas mereka. Rasulullah saw bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
».
”Siapa yang meniru suatu kaum maka ia adalah bagian
dari mereka.” (HR. Abu Dawud dai Ibnu Umar ra). Syekh Al-Albani menilai hadis
tersebut hasan shahih (Sunan Abu Dawud,II/441)
2.3 Pendapat yang Memperbolehkan Mengucapkan
Selamat Natal
Syeikh Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa
merayakan hari raya agama adalah hak masing-masing agama. Selama tidak
merugikan agama lain. Dan termasuk hak tiap agama untuk memberikan tahni’ah
saat perayaan agama lainnya. Maka kami sebagai pemeluk Islam, agama kami tidak
melarang kami untuk memberikan tahni’ah kepada non muslim warga negara kami
atau tetangga kami dalam hari besar agama mereka. Bahkan perbuatan ini termasuk
ke dalam kategori al-birr (perbuatan yang baik). Sebagaimana firman Allah SWT:
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ
الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ
أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Artinya: Allah tidak melarang kamu
untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah, 8)”
Kebolehan memberikan tahni’ah ini terutama bila
pemeluk agama lain itu juga telah memberikan tahni’ah kepada kita dalam
perayaan hari raya. Allah berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ
فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
حَسِيبًا
“Artinya: Apabila kamu diberi penghormatan dengan
sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik
dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya
Allah memperhitungankan segala sesuatu. (QS. An-Nisa’: 86)”
Namun Syeikh Yusuf Al-Qaradawi secara tegas mengatakan
bahwa tidak halal bagi seorang muslim untuk ikut dalam ritual dan perayaan
agama yang khusus milik agama lain.
Dr.Musthafa Ahmad Zarqa’, dalam bank fatwa situs
www.Islamonline.net, menyatakan bahwa tidak ada dalil yang secara tegas
melarang seorang muslim mengucapkan tahniah kepada orang kafir. Beliau mengutip
hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah berdiri menghormati jenazah
Yahudi. Penghormatan dengan berdiri ini tidak ada kaitannya dengan pengakuan
atas kebenaran agama yang dianut jenazah tersebut. Sehingga menurut beliau,
ucapan tahni’ah (ucapan selamat) kepada saudara-saudara pemeluk kristiani yang
sedang merayakan hari besar mereka, tidak terkait dengan pengakuan atas
kebenaran keyakinan mereka, melainkan hanya bagian dari mujamalah (basa-basi)
dan muhasanahseorang muslim kepada teman dan koleganya yang kebetulan berbeda
agama.
Beliau juga memfatwakan bahwa karena ucapan tahni’ah
ini dibolehkan, maka pekerjaan yang terkait dengan hal itu seperti membuat
kartu ucapan selamat natal pun hukumnya ikut dengan hukum ucapan natalnya.
Namun beliau menyatakan bahwa ucapan tahni’ah ini harus dibedakan dengan ikut
merayakan hari besar secara langsung, seperti dengan menghadiri
perayaan-perayaan natal yang digelar di berbagai tempat. Menghadiri perayatan
natal dan upacara agama lain hukumnya haram dan termasuk perbuatan mungkar.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam fatwanya tahun
1981 tidak secara tegas menyatakan hukum mengucapkan selamat natal, tetapi
senada dengan pandangan al-Qardhawi dan al-Zarqa, Majelis Ulama Indonesia telah
mengeluarkan fatwa bahwa “Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam
hukumnya haram”.
Fatwa Dr. Yusuf Al-Qaradawi
Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi mengatakan bahwa
merayakan hari raya agama adalah hak masing-masing agama. Selama tidak
merugikan agama lain. Dan termasuk hak tiap agama untuk memberikan tahni'ah
saat perayaan agama lainnya.
Maka kami sebagai pemeluk Islam, agama kami tidak
melarang kami untuk untuk memberikan tahni'ah kepada non muslim warga negara
kami atau tetangga kami dalam hari besar agama mereka. Bahkan perbuatan ini
termasuk ke dalam kategori al-birr (perbuatan yang baik). Sebagaimana firman
Allah SWT:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Kebolehan memberikan tahni'ah ini terutama bila
pemeluk agama lain itu juga telah memberikan tahni'ah kepada kami dalam
perayaan hari raya kami.
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari
padanya, atau balaslah penghormatan itu. Sesungguhnya Allah memperhitungankan
segala sesuatu.(QS. An-Nisa': 86)
Namun
Syeikh Yusuf Al-Qaradawi secara tegas mengatakan bahwa tidak halal bagi seorang
muslim untuk ikut dalam ritual dan perayaan agama yang khusus milik agama lain.
Fatwa Dr. Mustafa Ahmad Zarqa'
Di dalam bank fatwa situs Islamonline.com, Dr.
Mustafa Ahmad Zarqa', menyatakan bahwa tidak ada dalil yang secara tegas
melarang seorang muslim mengucapkan tahniah kepada orang kafir.
Beliau mengutip hadits yang menyebutkan bahwa
Rasulullah SAW pernah berdiri menghormati jenazah Yahudi. Penghormatan dengan
berdiri ini tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kebenaran agama yang
diajut jenazah tersebut.
Sehingga menurut beliau, ucapan tahni'ah kepada
saudara-saudara pemeluk kristiani yang sedang merayakan hari besar mereka, juga
tidak terkait dengan pengakuan atas kebenaran keyakinan mereka, melainkan hanya
bagian dari mujamalah (basa-basi) dan muhasanah seorang muslim kepada teman dan
koleganya yang kebetulan berbeda agama.
Dan beliau juga memfatwakan bahwa karena ucapan
tahni'ah ini dibolehkan, maka pekerjaan yang terkait dengan hal itu seperti
membuat kartu ucapan selamat natal pun hukumnya ikut dengan hukum ucapan
natalnya.
Namun
beliau menyatakan bahwa ucapan tahni'ah ini harus dibedakan dengan ikut
merayakan hari besar secara langsung, seperti dengan menghadiri
perayaan-perayaan natal yang digelar di berbagai tempat. Menghadiri perayatan
natal dan upacara agama lain hukumnya haram dan termasuk perbuatan mungkar.
Majelis Fatwa dan Riset Eropa
Majelis
Fatwa dan Riset Eropa juga berpendapat yang sama dengan fatwa Dr. Ahmad Zarqa'
dalam hal kebolehan mengucapkan tahni'ah, karena tidak adanya dalil langsung
yang mengharamkannya.
Fatwa Dr. Abdussattar Fathullah Said
Dr. Abdussattar Fathullah Said adalah profesor
bidang tafsir dan ulumul quran di Universitas Al-Azhar Mesir. Dalam masalah
tahni'ah ini beliau agak berhati-hati dan memilahnya menjadi dua. Ada tahni'ah
yang halal dan ada yang haram.
Tahni'ah yang halal adalah tahni'ah kepada orang
kafir tanpa kandungan hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Hukumnya halal
menurut beliau. Bahkan termasuk ke dalam bab husnul akhlaq yang diperintahkan
kepada umat Islam.
Sedangkan tahni'ah yang haram adalah tahni'ah kepada
orang kafir yang mengandung unsur bertentangan dengan masalah diniyah, hukumnya
haram. Misalnya ucapan tahniah itu berbunyi, "Semoga Tuhan memberkati diri
anda sekeluarga." Sedangkan ucapan yang halal seperti, "Semoga tuhan
memberi petunjuk dan hidayah-Nya kepada Anda."
Bahkan beliau membolehkan memberi hadiah kepada non
muslim, asalkan hadiah yang halal, bukan khamar, gambar maksiat atau apapun
yang diharamkan Allah.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pendapat
diatas, terdapat pendapat moderat yang mungkin bisa lebih kita pertimbangkan.
Selain adanya
dua pandangan yang saling bertentangan tersebut di atas, yaitu antara yang
mengharamkan dan membolehkan, ada juga pandangan yang moderat, tengah-tengah
anatara dua pandangan sebelumnya, yakni tidak mengharamkan secara mutlak tapi
juga tidak membolehkan secara mutlak. Pendapat ketiga ini memilah-milah antara
ucapan yang benar-benar haram dan ucapan yang masih bisa ditolelir.
Dr. Abdussattar
Fathullah Said, Profesor di bidang Ilmu Tafsir dan Ulumul-Quran di Universitas
Al-Azhar Mesir, dalam masalah tahni’ah ini beliau berhati-hati dan memilahnya
menjadi dua yaitu ada tahni’ah yang halal dan ada yang haram.
1. Tahni’ah yang halal adalah tahni’ah kepada orang kafir tanpa kandungan
hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Hukumnya halal menurut beliau. Bahkan
termasuk ke dalam bab husnul akhlaq yang diperintahkan kepada umat Islam.
Contohnya
ucapan, “Semoga Tuhan memberi petunjuk dan hidayah-Nya kepada Anda di hari ini
.” Beliau cenderung membolehkan ucapan seperti ini.
2. Tahni’ah yang haram adalah tahni’ah kepada orang kafir yang mengandung
unsur bertentangan dengan masalah diniyah, hukumnya haram.
Misalnya ucapan
tahniah itu berbunyi, ” Semoga Tuhan memberkati diri anda sekeluarga.” Beliau
membolehkan memberi hadiah kepada non muslim, asalkan hadiah yang halal, bukan
khamar, gambar maksiat atau apapun yang diharamkan Allah.
Termasuk dalam
kelompok pendapat yang moderat adalah membedakan hukum antara mengucapkan
selamat natal karena terpaksa dengan yang tidak karena terpaksa. Jika seorang
muslim berada di antara lingkungan mayoritas orang-orang Nasrani, seperti
muslim yang tempat tinggalnya di antara rumah-rumah orang Nasrani, pegawai yang
bekerja dengan orang Nasrani, seorang siswa di sekolah Nasrani, seorang
pebisnis muslim yang sangat tergantung dengan pebisinis Nasrani atau kaum muslimin
yang berada di daerah-daerah atau negeri-negeri non muslim maka boleh
memberikan ucapan selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani yang ada di
sekitarnya tersebut disebabkan situasi “keterpaksaan”. Ucapan selamat yang
keluar darinya pun harus tidak dibarengi dengan keridhaan di dalam hatinya
serta diharuskan baginya untuk beristighfar dan bertaubat.
Di antara
kondisi terpaksa misalnya; jika seorang pegawai muslim tidak mengucapkan
Selamat Hari Natal kepada boss atau atasannya maka ia akan dipecat, karirnya
dihambat, dikurangi hak-haknya. Atau seorang siswa muslim apabila tidak
memberikan ucapan Selamat Natal kepada Gurunya maka kemungkinan ia akan ditekan
nilainya, diperlakukan tidak adil, dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim
yang tinggal di suatu daerah atau negara non muslim apabila tidak memberikan
Selamat Hari Natal kepada para tetangga Nasrani di sekitarnya akan mendapatkan
tekanan sosial dan lain sebagainya. Pendapat ini berdasarkan kepada firman
Allah swt sbb:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ
مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ
عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya:
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurkaan
Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam
beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. (QS.
Al-Nahl, 106).
Adapun apabila
keadaan atau kondisi sekitarnya tidak memaksa atau mendesaknya dan tidak ada
pengaruh sama sekali terhadap karir, jabatan, hak-hak atau perlakuan
orang-orang Nasrani sekelilingnya terhadap diri dan keluarganya maka tidak
diperbolehkan baginya mengucapkan Selamat Hari Natal kepada mereka.
25
Desember Bukan Hari Lahir Nabi Isa
Lepas dari
perdebatan seputar fatwa haramnya mengucapkan selamat natal, ada masalah yang
lebih penting lagi. Yaitu kesepakatan para ahli sejarah bahwa Nabi Isa sendiri
tidak lahir di tanggal tersebut. Tidak pernah ada data akurat pada tanggal
berapakah beliau itu lahir. Yang jelas 25 Desember itu bukanlah hari lahirnya
karena itu adalah hari kelahiran anak Dewa Matahari di cerita mitos Eropa kuno.
Mitos itu pada sekian ratus tahun setelah wafatnya nabi Isa masuk begitu saja
ke dalam ajaran kristen lalu diyakini sebagai hari lahir beliau. Padahal tidak
ada satu pun ahli sejarah yang membenarkannya. Bahkan British Encyclopedia dan
American Ensyclopedia sepakat bahwa tanggal 25 Desember bukanlah hari lahirnya
Isa as.
Jadi kalau pun
ada sebagian kalangan yang tidak mengharamkan ucapan selamat natal, ketika
diucapkan pada even natal, ucapan itu mengandung sebuah kesalahan ilmiyah yang
fatal. (dirujuk dari berbagai sumber).
Wallahu
A’lam bishshawab !
DAFTAR PUSTAKA
http://mirajnews.com/id/artikel/opini/pro-kontra-ucapan-selamat-natal/ (Diunduh hari Senin, 05 Januari 2015)
Al
Ibdaa' fi madhaaril ibtidaa' 274-276
Al-Bakry,
Yusuf bin Ahmad dan Syaakir bin Taufiiq. 1418 H/1997 M. Ahkaam Ahli Adz-Dzimmah 1/441. Romaady li An-Nasyr
Al-Fataawaa
Al-Fiqhiyah Al-Kubro 4/238
Al-Iqnaa'
fi Fiqh Al-Imam Ahmad bin Hanbal 2/49
Al-Madkhol
2/46-48
Al-Mishri,
Ibnu Nujaim. Al-Bahr Ar-Rooiq Syarh Kanz Ad-Dqooiq 8/555
Az-Zaila'i.
Tabyiinul Haqooiq Syarh Kanz Ad-Daqooiq 6/228.
Kamal,
Zainul, dkk. 2004. Fiqih Lintas Agama. Jakarta: Paramadina
Mughni
Al-Muhtaaj 4/255
Widyosiswoyo,
Supartono. 2009. Ilmu Budaya Dasar. Bogor: Ghalia Indonesia
http://annuramadhani.blogspot.com/2014/05/hukum-ucapan-selamat-natal-untuk-umat.html (Diunduh hari Senin, 05 Januari 2015)
http://febrian-tekniksipil.blogspot.com/2012/04/hukum-mengucapkan-selamat-natal-bagi.html (Diunduh hari Senin, 05 Januari 2015)
http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hukum-mengucapkan-selamat-natal.htm#.VKjrS8nLNdg (Diunduh hari Senin, 05 Januari 2015)
No comments:
Post a Comment