I.
PEMBAHASAN
1.1.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM)
1.1.1
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
1.1.1.1 Definisi Pajak Pertambahah Nilai (PPN)
Pajak pertambahan nilai (value added tax) pertama kali diperkenalkan oleh
Carl Friedrich Von Siemens, seorang Industrialis dan konsultan pemerintah
Jerman pada tahun 1919. Pemerintah Indonesia mulai mengadopsi system Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) pada tanggal 1 April 1985 untuk menggantikan Pajak
Penjualan (PPn) yang sudah berlaku di Indonesia sejak tahun 1951.
Pajak pertambahan nilai yaitu pajak dikenakan oleh karena adanya perbuatan
yaitu penyerahan barang dan jasa di daerah pabean di Indonesia.
PPN (Pajak Pertambahan
Nilai) adalah pajak atas konsumsi
barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap
jalur produksi dan distribusi (Siti Resmi, 2012:1). Dalam Dirjen Pajak, Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan atas setiap
pembelian Barang Kena Pajak dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak baik di dalam
wilayah Indonesia maupun dari luar daerah Pabean.
PPN mempunyai karakteristik antara lain:
(a) Pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain
(pedagang yang bukan penanggung pajak, atau dengan kata lain, penanggung pajak
(konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. Dapat juga
dikatakan pemikul beban pajak dan
penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek
yang berbeda.
(b) Multitahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai produksi dan
distribusi.
(c) Pajak
objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.
Untuk pertama kali
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
diatur dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tanggal 31 Desember 1983 tentang
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (jadi yang dinamakan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983sedangkan perubahannya adalah perubahan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai), kemudian dilakukan perubahan sebagai berikut:
(1)
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1994 tanggal 09 November 1994
(2)
Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2000 tanggal 02 Agustus 2000
(3)
Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009 tanggal 15 Oktober 2009
Sehubungan dengan adanya perubahan Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai maka setiap perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai akan terdapat keterangan tahun terbitnya perubahan tersebut.
1.1.1.2.
Subjek Pajak
Pengusaha Kena Pajak,
yaitu pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN, yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa
dari luar Daerah Pabean.
1.1.1.3
Bukan Subjek
Pajak
Pengusaha kecil yang
batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang
memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. (Pasal 1 angka 15 UU
PPN).
1.1.1.4
Objek PPN
(1) Penyerahan/impor/pemanfaatan/ekspor terhadap
BKP/JKP/BKP tidak berwujud.
(a) Penyerahan BKP didalam daerah
pabean yang dilakukan oleh
pengusaha kena pajak maupun pengusaha
yang seharusnya dikukuhkan menjadi pengusaha
kena pajak tetapi belum
dikukuhkan.
(b) Impor BKP. Pemungutan pajak saat
impor BKP dilakukan melalui Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
(c) Penyerahan JKP didalam daerah pabean
yang dilakukan oleh pengusaha
(d) Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar
daearah pabean didalam daerah
pabean.
(e) Pemanfaatan JKP dari luar daerah
pabean (jasa konsultan asing yang memberikan jasa manajemen, jasa teknik dan
jasa lain) didalam daerah pabean.
(f) Ekspor BKP berwujud oleh PKP, ekspor
BKP dikenakan PPN, hanya jika yang melakukan adalah pengusaha yang telah
dikukuhkan sebagai PKP.
(g) Ekspor BKP tidak berwujud oleh PKP,
pengusaha yang melakukan ekspor BKP tidak berwujud adalah hanya pengusaha yang
telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
(h) Ekspor JKP oleh PKP.
(2) Kegiatan membangun sendiri yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau
badan yang hasilnya diigunakan sendiri atau digunakan pihak lain.
(3) Penyerahan aktiva oleh PKP yang
menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjual belikan sepanjang
pajak masukan yang dibayar pada saat perolehan menurut ketentuan dapat
dikreditkan.
1.1.1.5
Bukan Objek PPN
(1)
Jenis Barang
yang Tidak Dikenai PPN:
(a)
Barang hasil
pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.
(b)
Barang kebutuhan
pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
(c)
Makanan dan
minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya,
meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak,
termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
catering.
(d)
Uang, emas
batangan, dan surat berharga.
(2)
Jenis Jasa yang
Tidak Dikenai PPN:
(a)
Jasa pelayanan
kesehatan medis
(b)
Jasa pelayanan
sosial
(c)
Jasa pengiriman
surat dengan perangko
(d)
Jasa keuangan
(e)
Jasa asuransi
(f)
Jasa keagamaan
(g)
Jasa pendidikan
(h)
Jasa kesenian
dan hiburan
(i)
Jasa penyiaran
yang tidak bersifat iklan
(j)
Jasa angkutan
umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari jasa
angkutan udara luar negeri
(k)
Jasa tenaga
kerja
(l)
Jasa perhotelan
(m) Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka
menjalankan pemerintahan secara umum
(n)
Jasa penyediaan
tempat parkir
(o)
Jasa telepon
umum dengan menggunakan uang logam
(p)
Jasa pengiriman
uang dengan wesel pos
(q)
Jasa boga atau
katering
1.1.1.6
Dasar Pengenaan
PPN
(1)
Harga Jual
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua
biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan
Barang Kena Pajak, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang ini
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
(2)
Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua
biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan
Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang- Undang ini
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang
yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean
(3)
Nilai Impor
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi
dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk
impor Barang Kena Pajak.
Nilai
Impor adalah CIF (Cost, Insurance, and Freight) + Bea Masuk
(4)
Nilai Ekspor
Nilai Ekspor adalah adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
(5) Nilai Lain
Nilai Lain yang dipakai sebagai dasar untuk
menghitung pajak yang terutang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
No.75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai DPP dan Peraturan Menteri Keuangan
No.102/PMK.11/2011 tentang nilai lain sebagai DPP atas pemanfaatan barang kena
pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean, di dalam daerah pabean
berupa film cerita impor dan penyerahan film cerita impor.
1.1.2
Pajak Penjualan
atas Barang Mewah
1.1.2.1 Definisi Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM)
Berdasarkan
undang-undang yang berlaku di Indonesia, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
(PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong mewah yang
dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk menghasilkan atau mengimpor barang
tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
1.1.2.2
Karaktreristik PPnBM
Dari Pasal 5 dan Pasal 10 UU PPN 1984 diketahui
karakteristik (PPnBM) sebagai berikut:
(1)
PPnBM merupakan
pungutan tambahan di samping PPN.
(2)
PPnBM hanya dikenakan
satu kali yaitu pada saat impor, atau penyerahan di dalam Daerah Pabean BKP
yang tergolong Mewah oleh pabrikan yang menghasilkannya.
(3)
PPnBM tidak dapat
dikreditkan dengan PPN atau PPnBM. Namun, Pengusaha Kena Pajak yang mengekspor
BKP Yang Tergolong Mewah dapat meminta kembali PPnBM yang telah dibayar pada
waktu perolehan BKP Yang Tergolong Mewah yang dieskpor tersebut.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya PPnBM
hanya dikenakan satu kali yaitu pada mata rantai jalur distribusi yang disebut
dalam Pasal 5 UU PPN 1984.
1.1.2.3 Tujuan Pengenaan PPnBM di
Samping PPN
Dalam memori penjelasan
Pasal 5 UU PPN 1984 ditegaskan bahwa tujuan mengenakan PPnBM di samping PPN
adalah:
(1)
Untuk memperoleh
keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan
konsumen yang berpenghasilan tinggi.
(2)
Untuk mengendalikan
pola konsumsi BKP Yang Tergolong Mewah.
(3)
Melindungi produsen
kecil atau tradisional.
(4)
Untuk mengemankan
penerimaan negara.
1.1.2.4
Prinsip dan
Pertimbangan Pemungutan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Berikut beberapa pertimbangan mengapa pemerintah Indonesia
menganggap bahwa PPnBM sangatlah penting untuk diterapkan.
(1)
Agar tercipta
keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan
konsumen yang berpenghasilan tinggi.
(2)
Untuk mengendalikan
pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
(3)
Perlindungan terhadap
produsen kecil atau tradisional.
(4)
Mengamankan
penerimanaan negara.
Prinsip Pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ialah
hanya 1 (satu) kali saja, yaitu pada saat:
(1)
Penyerahan oleh
pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
(2)
Impor Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah.
Pemungutan PPnBM sama sekali tidak memperhatikan siapa yang
mengimpor maupun seberapa sering produsen atau pengusaha melakukan impor
tersebut (lebih dari sekali atau hanya sekali saja).
1.1.2.5 Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah
Barang-barang yang tergolong mewah dan harus dikenai PPnBM
ialah:
(1) Barang
yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
(2) Barang
yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat tertentu.
(3) Barang
yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi.
(4) Barang
yang dikonsumsi hanya untuk menunjukkan status atau kelas sosial.
1.2 Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) atas Ekspor dan
Impor
1.2.1
Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) atas Ekspor
Dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 ditetapkan objek pajak PPN yang berkaitan dengan
ekspor, meliputi :
(1) Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena
Pajak.
(2) Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh
Pengusaha Kena Pajak.
(3) Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Salah satu kegiatan transaksi yang
dikenakan PPN adalah atas ekspor Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak. Hal ini sesuai yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h
UU Nomor 42 Tahun 2009. Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2) ditegaskan bahwa
ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis JKP yang atas ekspornya dikenakan
PPN akan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Untuk menindaklanjuti ketentuan ini,
maka diterbitkanlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010
tanggal 31 Maret 2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang
atas Ekspornya Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Pada prinsipnya kegiatan Kegiatan Ekspor Barang dan
Jasa dikenai PPN 10%. Namun dalam rangka mendorong perkembangan dunia usaha
Indonesia dan meningkatkan daya saing kita, maka Pemerintah menetapkan fasilitas PPN 0% atas kegiatan
ekspor. Namun fasilitas ini hanya diberikan bagi Pengusaha yang sudah
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
1.2.1.1
Yang dimaksud dengan ”Barang Kena Pajak Tidak Berwujud”
(1)
Penggunaan atau
hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah,
paten, desain atau model,rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang,
atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya.
(2)
Penggunaan atau
hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah.
(3)
Pemberian
pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau
komersial.
(4)
Pemberian
bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak
menggunakan hak-hak tersebutpada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau
informasi tersebut pada angka 3, berupa:
(a)
Penerimaan atau
hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan
kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang
serupa.
(b)
Penggunaan atau
hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran
televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat
optik, atau teknologi yang serupa.
(c)
Penggunaan atau
hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radiokomunikasi.
(5)
Penggunaan atau
hak menggunakan filmgambar hidup (motion picture films), film atau pita video
untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio.
(6)
Pelepasan
seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian
hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut
di atas.
1.2.1.2 Batasan Kegiatan dan Jenis
JKP yang atas ekspornya dikenakan PPN 0%.
Sebagaimana yang diatur dalam PMK-70/PMK.03/2010 Batasan Kegiatan dan Jenis
JKP yang atas ekspornya dikenai PPN dengan tarif 0% meliputi :
(1) Jasa Maklon, yaitu pemberian jasa dalam rangka proses
penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh
pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), dan pengguna jasa menetapkan spesifikasi,
serta menyediakan bahan baku dan/atau barang setengah jadi dan/atau bahan
penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya, dengan
kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa.
Jasa Maklon
yang batasan kegiatannya memenuhi syarat berikut:
(a)
Pemesan atau penerima JKP berada di Luar Daerah Pabean
dan merupakan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) serta tidak mempunyai Bentuk Usaha
Tetap (BUT) di Indonesia.
(b)
Spesifikasi dan bahan disediakan oleh pemesan atau
Penerima JKP.
(c)
Bahan adalah bahan baku, bahan setengah jadi, dan/atau
bahan penolong/pembantu yang akan diproses menjadi BKP yang dihasilkan.
(d)
Kepemilikan atas barang jadi berada pada pemesan atau
penerima JKP.
(e)
Pengusaha Jasa Maklon mengirim barang hasil
pekerjaannya berdasarkan permintaan pemesan atau penerima JKP ke luar daerah
Pabean.
(2)
Jasa Perbaikan dan perawatan yang batasan kegiatannya
memenuhi syarat:
(a)
Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak
yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean.
(3) Jasa
Konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan
jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan
pekerjaan konstruksi, yang batasan kegiatannya memenuhi syarat:
(a)
Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak
bergerak yang terletak di luar Daerah Pabean.
1.2.1.3 Tarif
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Ekspor
Tarif PPN sebesar 0%
diterapkan atas Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Ekspor Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud, dan Ekspor Jasa Kena Pajak.
1.2.2 Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) atas Impor
Impor merupakan proses
pembelian barang atau jasa asing dari suatu negara ke negara lain atau setiap
kegiatan memasukkan barang barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah
Pabean.
Daerah pabean adalah
wilayah kedaulatan Republik Indonesia dan tempat-tempat tertentu di wilayah
yurisdiksi nasional Republik Indonesia yang didalamnya berlaku peraturan
perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Pada prinsipnya semua
kegiatan impor barang dikenai PPN. Namun dalam rangka mendorong perkembangan
dunia usaha Indonesia dan meningkatkan daya saing kita, maka Pemerintah
menetapkan jenis-jenis Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, yang bertujuan untuk
menjamin tersedianya barang-barang yang bersifat strategis tersebut. Pemberian fasilitas perpajakan ini hanya bersifat sementara.
1.2.2.1 PPN yang Dibebaskan atas
Impor
Perlu diketahui bahwa tidak semua barang yang dibeli atau dijual dikenakan
PPN, dan PPN yang dibebaskan atas Impor itu sendiri tidak bisa dikreditkan.
Sebagaimana yang telah diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 370/KMK/2003 Tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang
Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau
Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu, bahwa:
(1)
Barang Kena Pajak Tertentu adalah:
(a)
Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan
di bawah air, alat angkutan di udara, alat angkutan di darat, kendaraan lapis
baja, kendaraan patroli, dan kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku
cadangnya.
(b)
Komponen atau bahan yang belum dibuat di dalam negeri
yang digunakan dalam pembuatan senjata dan amunisi untuk keperluan Departemen
Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia (POLRI).
(c)
Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan
Imunisasi Nasional (PIN).
(d)
Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku
pelajaran agama.
(e)
Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan
danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal
penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran
atau keselamatan manusia.
(f)
Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan
penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan.
(g)
Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk
perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana.
(h)
Komponen atau bahan yang digunakan untuk pembuatan
kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta
prasarana yang akan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia.
(i)
Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh
Departemen Pertahanan atau TNI untuk penyediaan data batas dan photo udara
wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung pertahanan
Nasional.
(j)
Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun
sederhana, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya,
yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan
Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah.
(2)
Jasa Kena Pajak Tertentu adalah:
(a)
Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut
Nasional, Perusahaan penangkapan ikan nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa
Kepelabuhan Nasional, atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai,
Danau, dan Penyeberangan Nasional, yang meliputi:
(i)
Jasa persewaan kapal.
(ii)
Jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa
tambat, dan jasa labuh.
(iii)
Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal.
(b)
Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara
Niaga Nasional yang meliputi:
(i) Jasa
pesewaan pesawat udara.
(ii) Jasa
perawatan atau reparasi pesawat udara.
(c)
Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima
oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia.
(d)
Jasa yang diserahkan oleh Kontraktor untuk pemborongan
bangunan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf j dan pembangunan tempat yang
semata-mata untuk keperluan ibadah.
(e)
Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana,
dan rumah sangat sederhana.
(f)
Jasa yang diterima oleh Departemen Pertahanan atau TNI
yang dimanfaatkan dalam rangka penyediaan data batas photo udara wilayah Negara
Republik Indonesia untuk mendukung pertahanan nasional.
1.2.2.2 Peraturan Menteri Keuangan Terbaru
(1)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.010/2016
tanggal 3 Maret 2016, tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan
Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.
(2)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 248/PMK.010/2015
tanggal 28 Desember 2015, tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 162/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah kpada Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional serta Pejabatnya.
(3)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
142/PMK.010/2015 tanggal 24 Juli 2015, tentang Perubahan Keempat atas Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.03/2001 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang Kena Pajak Yang
Dibebaskan Dari Pungutan Bea Masuk.
(4)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.03/2015
tanggal
4 Maret 2015, tentang Penunjukan Badan Usaha Tertentu
untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Tata Cara
Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya.
1.2.2.3 Tarif Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) atas Impor
Tarif PPN adalah 10%.
Dikenakan atas setiap penyerahan BKP di dalam daerah
pabean/impor BKP/penyerahan JKP di dalam daerah pabean/pemanfaatan BKP tidak
berwujud dari luar daerah pabean di dalam pabean/pemanfaatan JKP dari luar
daerah pabean di dalam daerah pabean.
Tarif
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dapat diubah menjadi paling
rendah 5% dan paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Hal ini dapat disebabkan berbagai faktor, misalnya pertimbangan
perkembangan perekonomian Indonesia, sehingga tarif PPN bisa diturunkan.
Sebaliknya, misalnya jika Pemerintah membutuhkan penerimaan pajak yang besar,
sehingga tarif PPN bisa dinaikkan.
1.3
Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
PPnBM
merupakan pajak atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang
dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah
Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya atau impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah.
1.3.1
Kriteria BKP yang Tergolong Mewah
Kriteria BKP yang
Tergolong Mewah dalam penjelasan Pasal 5 UU PPN 1984 adalah:
(1) Bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
(2) Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu.
(3) Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi.
(4) Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status.
(5) Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta
mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol.
1.3.2
Dasar Pengenaan Pajak Untuk Menghitung PPnBM yang Terutang
Dasar Pengenaan Pajak
untuk menghitung PPnBM yang terutang adalah:
(1) Untuk penyerahan kendaraan bermotor di dalam Daerah Pabean, Dasar pengenaan
Pajaknya adalah Harga Jual.
(2) Untuk impor kendaraan bermotor adalah Nilai Impor.
(3) Dalam hal terdapat hubungan istimewa antara Industri Perakitan atau
Pabrikan kendaraan bermottor dengan Distributor atau Dealer atau Agen atau
Penyalur dan Harga Jual dipengaruhi oleh adanya hubungan istimewa antara
pihak-pihak tersebut sehingga Harga Jual menjadi lebih rendah daripada harga
pasar wajar, maka Dasar Pengenaan Pajaknya ditetapkan sebesar harga pasar
wajar.
1.3.3
Dibebaskan dari Pengenaan PPnBM
Berdasarkan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 355/KMK.03/2003
dibebaskan dari pengenaan PPnBM:
(1) Impor atau penyerahan kendaraan bermotor di dalam Daerah Pabean yang
digunakan untuk kendaraan ambulans, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam
kebakaran, kendaraan tahanan, kendaraan angkutan umum.
(2) Impor atau penyerahan kendaraan bermotor di dalam Daerah Pabean yang
digunakan untuk tujuan Protokoler Kenegaraan.
(3) Impor atau penyerahan di dalam Daerah Pabean kendaraan bermotor untuk
pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk
kemudi, yang digunakan untuk kendaraan dinas TNI atau POLRI.
(4) Impor atau penyerahan semua jenis kendaraan bermotor di dalam Daerah
Pabean, yang digunakan untuk keperluan patroli TNI atau POLRI.
(5) Pembebasan ini diperoleh dengan terlebih dahulu pembeli yang berkepentingan
mengajukan Surat Keterangan Bebas PPnBM ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.
Dalam hal sebelum diperoleh surat keterangan ini sudah terlanjur membeli
kendaraan bermotor yang diperlukan dan memenuhi kriteria yang seharusnya
dibebaskan dari PPnBM, maka pihak pembeli dapat mengajukan permohonan
pengembalian (restitusi) PPnBM yang sudah dibayar.
1.3.4
Tidak Dikenakan PPnBM
Berdasarkan Pasal 3
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 355/KMK.03/2003 taqnggal 11 Agustus 2003,
PPnBM tidak dikenakan atas impor atau penyerahan:
(1) Kendaraan dalam bentuk CKD.
(2) Kendaraan berupa sasis.
(3) Kendaraan pengangkutan barang.
(4) Kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas silinder sampai dengan
250cc.
(5) Kendaraan umum untuk pengangkutan 16 (enam belas) orang atau lebih termasuk
pengemudi.
1.3.5
Tarif Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Tarif pajak
penjualan atas barang mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan
paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen). Jika pengusaha melakukan
ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah maka akan dikenai pajak dengan
tarif sebesar 0% (nol persen).
1.3.6
Perhitungan
dan Pelaporan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Tarif
(%)
|
Jenis Barang Kena Pajak
|
|
|
10
|
kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh)
orang sampai dengan 15 (lima belas)orang termasuk pengemudi, dengan motor
bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semidiesel), dengan semua
kapasitas isi silinder;
|
|
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10
(sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor
bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan sistem 1
(satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder tidak lebih dari
1500 cc;
|
|
|
25
|
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10
(sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan
motor bakar cetus api atau dengan nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan
sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih
dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc;
|
|
kendaraan bermotor dengan kabin ganda (double
cabin), dalam bentuk kendaraan bak terbuka atau bak tertutup, dengan
penumpang lebih dari 3 (tiga) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar
cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gandar
penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan
semua kapasitas isi silinder, dengan massa total tidak lebih dari 5 (lima)
ton.
|
|
|
30
|
kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan
motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan
kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc;
|
|
kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon
dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan
sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder sampai
dengan 1500 cc.
|
|
|
50
|
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10
(sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan
motor bakar cetus api, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan
kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc sampai dengan 3000 cc;
|
|
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10
(sepuluh) orang termasuk pengemudi dengan motor bakar cetus api, berupa sedan
atau station wagon dan selain sedanatau station wagon, dengan sistem 2 (dua)
gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc
sampai dengan 3000 cc;
|
|
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10
(sepuluh) orang termasuk pengemudi dengan motor bakar nyala kompresi
(diesel/semi diesel), berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau
station wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas
isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc; dan
|
|
semua jenis kendaraan khusus yang dibuat untuk golf.
|
|
|
60
|
kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi
silinder lebih dari 250 cc sampai dengan 500 cc; dan
|
|
kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di
atas salju, di pantai, di gunung, dan kendaraan semacam itu.
|
|
|
75
|
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10
(sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api, berupa
sedan atau station wagon dan selain sedanatau station wagon, dengan sistem 1
(satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak
(4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 3000 cc;
|
|
kendaraan bermotor pengangkutan kurang dari 10
(sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar nyala kompresi
(diesel/semi diesel) berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau
station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan
sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih
dari 2500 cc;
|
|
kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas
isi silinder lebih dari 500 cc;
|
|
trailer, semi-trailer dari tipe caravan, untuk
perumahan atau kemah.
|
1.3.7
Tarif PPnBM diluar kendaraan bermotor
Tarif
(%)
|
Jenis Barang Kena Pajak
|
|
|
10
|
kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin,
pesawat pemanas, dan pesawat penerima siaran televisi;
|
|
kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga;
|
|
kelompok mesin pengatur suhu udara;
|
|
kelompok alat perekam atau reproduksi gambar,
pesawat penerima siaran radio;
|
|
kelompok alat fotografi, alat sinematografi, dan perlengkapannya;
|
|
|
20
|
kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin,
pesawat pemanas, selain yang dikenakan tariff 10%;
|
|
kelompok hunian mewah seperti rumah mewah,
apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya;
|
|
kelompok pesawat penerima siaran televisi dan antena
serta reflektor antena, selain yang dikenakan tariff 10%;
|
|
kelompok mesin pengatur suhu udara, mesin pencuci
piring, mesin pengering;
|
|
pesawat elektromagnetik dan instrumen musik;
|
|
kelompok wangi-wangian;
|
|
|
30
|
kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan
dan kano, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum;
|
|
kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain
yang dikenakan tariff 10%;
|
|
|
40
|
kelompok minuman yang mengandung alcohol;
|
|
kelompok barang yang terbuat dari kulit atau kulit
tiruan;
|
|
kelompok permadani yang terbuat dari sutra atau
wool;
|
|
kelompok barang kaca dari kristal timbal dari jenis
yang digunakan untuk meja, dapur, rias, kantor, dekorasi dalam ruangan atau
keperluan semacam itu;
|
|
kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya
terbuat dari logam mulia atau dari logam yang dilapisi logam mulia atau
campuran daripadanya;
|
|
kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan
dan kano, selain yang dikenakan tarif 30%, kecuali untuk keperluan negara
atau angkutan umum;
|
|
kelompok balon udara dan balon udara yang dapat
dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak;
|
|
kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya,
kecuali untuk keperluan negara;
|
|
kelompok jenis alas kaki;
|
|
kelompok barang-barang perabot rumah tangga dan
kantor;
|
|
kelompok barang-barang yang terbuat dari porselin,
tanah lempung cina atau keramik;
|
|
Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya
terbuat dari batu selain batu jalan atau batu tepi jalan;
|
|
|
50
|
kelompok permadani yang terbuat dari bulu hewan
halus;
|
|
kelompok pesawat udara selain yang dikenakan tarif
40%, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga;
|
|
kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain
yang dikenakan tarif 10% dan tarif 30%;
|
|
kelompok senjata api dan senjata api lainnya,
kecuali untuk keperluan negara.
|
|
|
75
|
kelompok minuman yang mengandung alkohol selain yang
dikenakan tariff 40%;
|
|
kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya
terbuat dari batu mulia dan/atau mutiara atau campuran daripadanya;
|
|
kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan
negara atau angkutan umum."
|
1.4
Pelaporan
PPN dan PPnBM
1.4.1
PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus
dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak
setempat paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
1.4.2
PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP
yang telah dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
1.4.3
PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan:
(1)
Bendahara Pemerintah harus dilaporkan paling lama akhir
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(2)
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus
dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Untuk
penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM dihitung sendiri oleh
PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada KPP setempat paling
lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
1.5
Saat Pembayaran/Penyetoran PPN/PPnBM
1.5.1
PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetor
paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
1.5.2
PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP
harus dibayar/disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT,
dan STP tersebut.
1.5.3
PPN/PPnBM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan,
harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Impor.
1.5.4
PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh:
(1)
Bendahara Pemerintah, harus disetor paling lama tanggal 7
(tujuh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(2)
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM
atas Impor, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah
dilakukan pemungutan PPN pajak.
PPN dari
penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), harus dilunasi
sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O) ditebus.
1.6
Sarana Pembayaran PPN dan PPnBM
1.6.1
Untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan formulir
Surat Setoran Pajak (SSP) yang tersedia di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan
Kantor-kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) di seluruh
Indonesia.
1.6.2
Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan sah bila
jumlah PPN/ PPn BM yang disetorkan telah sesuai dengan yang tercantum di dalam
Daftar Nominatif Wajib Pajak (DNWP) yang dibuat oleh: Bank penerima pembayaran,
Kantor Pos dan Giro, atau Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerima
setoran.
II.
RANGKUMAN
PPN
(Pajak Pertambahan Nilai) adalah pajak
atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat
di setiap jalur produksi dan distribusi (Siti Resmi, 2012:1). Untuk
pertama kali Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah diatur dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tanggal 31 Desember
1983 tentang Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.
Yang menjadi
subjek pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah adalah
Pengusaha Kena Pajak yaitu pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah
Pabean. Sedangkan yang termasuk bukan subjek pajak adalah Pengusaha Kecil yang
batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Objek
ppn dibagi menjadi 3:
(1) Penyerahan/impor/pemanfaatan/ekspor
terhadap BKP/JKP/BKP tidak berwujud.
(2) Kegiatan membangun sendiri.
(3) Penyerahan aktiva oleh PKP.
Non Objek
dibagi 2, yaitu barang yang tidak dikenai PPN dan jasa yang tidak dikenai PPN.
Dasar pengenaan
PPN terdiri dari:
(1) Harga jual
(2) Penggantian
(3) Nilai impor
(4) Nilai ekspor
(5) Nilai lain
Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong
mewah yang dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk menghasilkan atau
mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Karakteristik PPnBM:
(1) PPnBM merupakan pungutan tambahan di samping PPN.
(2) PPnBM hanya dikenakan satu kali.
(3) PPnBM tidak dapat dikreditkan dengan PPN atau PPnBM.
Pemungutan
PPnBM sama sekali tidak memperhatikan siapa yang mengimpor maupun seberapa
sering produsen atau pengusaha melakukan impor tersebut (lebih dari sekali atau
hanya sekali saja).
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas
Ekspor
Objek pajak PPN yang berkaitan dengan
ekspor, meliputi :
(1) Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha
Kena Pajak.
(2) Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh
Pengusaha Kena Pajak.
(3) Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Pada prinsipnya kegiatan Kegiatan Ekspor Barang dan
Jasa dikenai PPN 10%. Namun dalam rangka mendorong perkembangan dunia usaha
Indonesia dan meningkatkan daya saing kita, maka Pemerintah menetapkan fasilitas PPN 0% atas kegiatan
ekspor. Namun fasilitas ini hanya diberikan bagi Pengusaha yang sudah
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Sebagaimana yang diatur dalam PMK-70/PMK.03/2010 Batasan Kegiatan dan Jenis
JKP yang atas ekspornya dikenai PPN dengan tarif 0% meliputi :
(1)
Jasa Maklon
(2)
Jasa Perbaikan dan perawatan
(3)
Jasa Konstruksi
Tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas
Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan
Ekspor Jasa Kena Pajak.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Impor
Impor merupakan proses
pembelian barang atau jasa asing dari suatu negara ke negara lain atau setiap
kegiatan memasukkan barang barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah
Pabean.
Daerah pabean adalah
wilayah kedaulatan Republik Indonesia dan tempat-tempat tertentu di wilayah
yurisdiksi nasional Republik Indonesia yang didalamnya berlaku peraturan
perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Tarif PPN adalah 10%. Tarif pajak tersebut
dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% yang perubahan
tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Kriteria BKP yang Tergolong Mewah dalam penjelasan Pasal 5 UU PPN 1984
adalah:
(1) Bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
(2) Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu.
(3) Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi.
(4) Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status.
(5) Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta
mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol.
Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung PPnBM yang terutang adalah:
(1) Harga jual
(2) Nilai impor
(3) Harga pasar
wajar
Tarif pajak
penjualan atas barang mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan
paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen). Jika pengusaha melakukan
ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah maka akan dikenai pajak dengan
tarif sebesar 0% (nol persen).
III.
EVALUASI
3.1
Contoh Soal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Ekspor
(1)
PKP D melakukan
ekspor BKP dengan nilai ekspor Rp. 10.000.000,00. Berapa PPN terutang?
PPN yang terutang = 0% x Rp. 10.000.000 = Rp. 0,00
PPN sebesar Rp. 0,00 tersebut merupakan
pajak keluaran
(2)
PKP X melakukan
ekspor BKP dengan nilai ekspor Rp. 75.000.000,00. Berapa PPN terutang?
PPN yang terutang = 0% x Rp. 75.000.000 = Rp. 0,00
PPN sebesar Rp. 0,00 tersebut merupakan
pajak keluaran
3.2
Contoh Soal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Impor
(1)
Seseorang mengimpor Barang Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor sebesar Rp15.000.000,00. PPN
yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai?
PPN= 10% x Rp15.000.000,00= Rp. 1.500.000,00
(2) PT
Wiro mengimpor barang dari Jepang. PT Wiro tidak memilki Angka pengenal Impor,
adalah perusahaan percetakan yang mengimpor mesin Fotokopi dari Jepang sebanyak
20 unit barang. Harga faktur per unit sebesar US$500. Biaya asuransi dan biaya
angkut antar daerah pabean masing-masing 5% dan 10% dari harga faktur. Pungutan
pabean lain yang sah adalah Rp 22.500.000,-. Kurs yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan pada waktu itu adalah Rp 9.000. Berapa PPN terutang?
Harga faktur 20 x $500 =
$10.000
Biaya asuransi 5% x $10.000 = $500
Biaya angkut 10% x $10.000 = $1.000
------------
CIF $11.500
CIF dalam Rupiah $11.500 x Rp 9.000 =Rp.103.500.000,00
Pungutan pabean lainnya =Rp. 22.500.000,00
---------------------
Nilai Impor =Rp.126.000.000,00
PPN yang terutang = 10% x Rp. 126.000.000 = Rp. 12.600.000,00
Biaya asuransi 5% x $10.000 = $500
Biaya angkut 10% x $10.000 = $1.000
------------
CIF $11.500
CIF dalam Rupiah $11.500 x Rp 9.000 =Rp.103.500.000,00
Pungutan pabean lainnya =Rp. 22.500.000,00
---------------------
Nilai Impor =Rp.126.000.000,00
PPN yang terutang = 10% x Rp. 126.000.000 = Rp. 12.600.000,00
3.3
Contoh Soal Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
(1)
PT Internasional selaku importir mengimpor 1000 unit
AC senilai USD 500.000 (1USD=Rp.2000). atas kegiatan impor ini terutang bea masuk
50%, PPN 10% dan PPnBM 20%.
(a)
Berapa nilai impor?
(b)
Berapa PPN yang dibayar ke pemerintah?
(c)
Berapa PPnBM yang harus dibayar?
(d)
Berapa total biaya yang harus dibayar PT.Nasional?
(e)
Berapa modal 1 unit AC?
Penyelesaian;
(a)
Nilai impor = harga impor + bea masuk
Nilai impor = (500.000 x 2000) + (50% x 1.000.000.000)
Nilai impor = 1.000.000.000 + 500.000.000
Nilai impor
= 1.500.000.000
(b)
PPN 10% =
1.500.000.000 x 10 % = 150.000.000
(c)
PPnBM 20% = 20% x
1.500.000.000 = 300.000.000
(d)
Total yang
harus dibayar = 1.500 juta + 150 juta + 300 juta =1.950.000.000
(e)
Modal 1 unit AC =
1.950.000
(2) Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak
yang tergolong Mewah dengan Nilai Impor sebesar Rp5.000.000,00 Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah tersebut selain dikenai PPN juga dikenai PPnBM
misalnya dengan tarif 20%. Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah:
Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00
(a) PPN= 10% x Rp5.000.000,00= Rp. 500.000,00
(b) PPnBM= 20% x Rp5.000.000,00= Rp. 1.000.000,00
DAFTAR PUSTAKA
Charelfriendly, Google (2011), PPN Atas Ekspor.
(Update
terakhir 01 Juli 2011) (Diakses 25 Maret 2016)
Faqot
Mahmudah, Google (2015), Makalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) Administrasi Perpajakan.
(Update
terakhir 11 Mei 2015) (Diakses 25 Maret 2016)
Mardiasmo.
2009. Perpajakan Edisi Revisi 2009. Yogyakarta:
C.V Andi Offset.
Ortax Tim
Redaksi, Ortax.org (2015), Objek Pajak Pertambahan Nilai Atas Impor.
(Update
terakhir 19 Januari 2015) (Diakses 25 Maret 2016)
Suciha,
DocSlide (2015), Makalah PPN Dan PPnBM.
(Update
terakhir 18 Oktober 2015) (Diakses 25 Maret 2016)
No comments:
Post a Comment