Thursday 14 May 2015

Hukum Ucapan Natal



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Baru-baru ini, umat Kristen telah merayaan Natal. Ternyata, bukan hanya orang Kristen saja yang sibuk dengan Natal, para aktifis juga sedang sibuk dalam perdebatan ucapan selamat Natal.
“Marry Christmas” kini menjadi buah bibir masyarakat Muslim di Indonesia, mungkin tidak di Indonesia saja tapi Muslim di seluruh dunia.
Bolehkan mengucapkan selamat Natal? Pertanyaan seperti itu sedang ramai-ramainya dibicarakan. Ada ulama yang melarang dengan argumentasi dan dalil, bahkan ada yang menolak keras ucapan selamat Natal, namun ada juga yang membolehkannya.
Kebiasaan mengucapkan “selamat Natal” di Indonesia, sebagaimana di negara-negara lain dilakukan bukan hanya oleh orang-orang Kristen, tetapi juga oleh orang-orang non-Kristen, termasuk kaum muslim. Kita juga serig menyaksikan ucapan selamat Natal di Negeri ini datang dari saudara-saudara mereka yang beragama Islam.
Misalnya kita sering menyaksikan banyak artis, pembawa acara dan penyiar yang beragama Islam mengucapkan selamat Natal dan hari besar agama lain lewat media-media, baik cetak dan elektronik. Atau contoh praktik mengucapkan selamat Natal atau hari besar agama lain (non Islam) oleh Presiden, padahal kita ketahui bahwa semua Presiden kita beragama Islam.[4] Di sinilah terjadi banyak perdebatan mengenai hukum orang Islam yang mengucapkan “selamat Natal” atau mengucapkan selamat hari raya kepada umat agama lain.


1.2  Rumusan Masalah
1.2.1   Sejarah Natal Menurut Islam
1.2.2   Pendapat yang Mengharamkan Mengucapkan Selamat Natal
1.2.3   Pendapat yang Memperbolehkan Mengucapkan Selamat Natal

1.3  Tujuan Masalah
1.3.1   Mengetahui Sejarah Natal Menurut Islam
1.3.2   Mengetahui  Pendapat-pendapat yang Mengharamkan Mengucapkan Selamat Natal
1.3.3   Mengetahui Pendapat-pendapat yang Memperbolehkan Mengucapkan Selamat Natal

1.4  Manfaat Masalah
Manfaat permasalahan kali ini adalah agar kita bisa mempertimbangkan dan menyimpulkan hukum mengucapkan selamat Natal untuk umat Kristiani.

























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Natal Menurut Islam
Kata natal berasal dari bahasa Latin yang berarti lahir. Namun secara istilah natal berarti upacara yang dilakukan oleh umat Kristiani untuk memperingati hari kelahiran Isa Al-Masih, yang mereka sebut dengan Tuhan Yesus.
Kata Christmas (Natal) yang artinya Mass of Christ atau disingkat Christ-Mass, diartikan sebagai hari untuk merayakan kelahiran "Yesus". Perayaan yang diselenggarakan oleh non-Kristen dan semua orang Kristen ini berasal dari ajaran Gereja Kristen Katholik Roma. Tetapi, sebab Natal itu bukan ajaran Bibel (Alkitab), dan Yesus pun tidak pernah memerintah para muridnya untuk menyelenggarakannya. Perayaan yang masuk dalam ajaran Kristen Katholik Roma pada abad ke-4 ini berasal dari upacara adat masyarakat penyembah berhala.
Perayaan Natal yang diselenggarakan di seluruh dunia ini berasal dari Katholik Roma, dan tidak memiliki dasar dari kitab suci, sesuai dengan penjelasan dari Katholik Roma dalam Catholic Encyclopedia, edisi 1911, dengan judul: Christmas, di sini ditemukan kalimat yang berbunyi sebagai berikut: "Christmas was not among the earliest festivals of Church...the first evidence of the feast is from Egypt. Pagan customs centering around the January calends gravitated to Christmas". Artinya: "Natal  bukanlah upacara Gereja yang pertama….melainkan ia diyakini berasal dari Mesir. Perayaan yang diselenggarakan oleh para penyembah berhala dan jatuh pada bulan Januari, kemudian dijadikan hari kelahiran Yesus".
Peringatan Natal baru tercetus antara tahun 325-254 SM oleh Paus Liberus yang ditetapkan pada tanggal 25 Desember, sekaligus sebagai momentum penyembahan Dewa Matahari, yang kadang juga diperingati pada tanggal 6 Januari, 28 April, 18 Mei, atau 18 Oktober. Kemudian, oleh Kaisar Konstantin tanggal 25 Desember tersebut akhirnya disahkan sebagai hari kelahiran Yesus.
Untuk menyikap tabir Natal yang diperingati pada tanggal 25 Desember yang diyakini sebagai hari kelahiran Yesus, maka dapat disimak apa yang diberitakan oleh Bibel (injil) tentang kelahiran Yesus, sebagaimana yang dijelaskan dalam Injil Lukas (2): 1-8 dan Injil Matius (2): 1 dan 10-11 (Adapun Injil Markus dan Yohanes tidak menuliskan kisah kelahiran Yesus).
Bibel (Injil) Lukas (2): 1-8 berbunyi, “Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh untuk mendaftarkan semua orang di seluruh dunia. Inilah pendaftaran pertama kali diadakan sewaktu Kirenius menjadi wali negeri di Siria. Maka pergilah semua orang mendaftarkan diri masing-masing di kotanya. Demikian juga Yusuf pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea ke kota Daud yang bernama Betlehem, karena ia berasal dari keluarga dan keturunan Daud, supaya didaftarkan bersama-sama dengan Maria, tunangannya yang sedang mengandung. Ketika mereka di situ, tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan. Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang sedang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam”.
Bibel (Injil) Matius (2): 1 dan 10-11 berbunyi, “Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman Herodus datangalah orang-orang Majus dari Timur ke Yerussalem. Ketika mereka melihat bintang itu sangat bersuka citalah mereka. Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat anak itu bersama maria, ibunya”.
Wahai saudaraku, perhatikanlah isi kedua Bibel di atas, terutama kata atau kalimat yang bercetak tebal. Maka, dapat diketahui bahwa terdapat pertentangan yang cukup jelas antara kedua Bibel tersebut dalam menjelaskan kelahiran Yesus. Pada Bibel Lukas dijelaskan bahwa Yesus lahir pada zaman Kaisar Agustus, sedangkan Bibel Matius pada zaman Herodus. Kemudian, kalau dipahami isi Bibel di atas, maka akan diketahui bahwa pada hakikatnya kedua Bibel tersebut dengan sendirinya telah menolak mentah-mentah kelahiran Yesus pada tanggal 25 Desember.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ” Maka rasa sakit akan melahirkan memaksa ia (Maryam) bersandar pada pangkal pohon kurma, ia berkata, ’Aduhai, alangkah baik aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti lagi dilupakan.’ Maka Malaikat Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, ’Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.’ Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” [QS. Maryam (19): 23-25]
Jadi, menurut Al-Qur’an bahwa Isa Al-Masih dilahirkan pada musim panas disaat pohon-pohon kurma berbuah dengan lebatnya.
Tidak berlebihan jika mencoba meminjam pendapat sarjana Kristen bernama Dr. Arthur S. Peak. Beliau mengatakan bahwa sebenarnya Yesus lahir dalam bulan Elul (Bulan Yahudi), bersamaan dengan bulan Agustus sampai September. [Lihat Sholeh A. Nahdi, Bibel dalam Timbangan, hal. 32]
Kemudian, tidak salah juga jika mengutip tulisan Dr. Charles Franciss Petter yang mengatakan, “…Kesulitan menentukan tanggal kelahiran Yesus, kehidupannya, kematiannya terpaksa ditimbulkan kembali karena adanya keterangan-keterangan yang banyak terdapat dalam gulungan-gulungan Essene (yang terdapat di gua Qamran…” [Lihat Dr. Charles Franciss Petter, The Lost of Jesus Revealed , hal 119]
Ternyata antara pemahaman yang beredar di kalangan umat Kristen tentang kelahiran Yesus, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Bibel tidaklah menunjukkan suatu kepastian, sehingga banyak dari ilmuwan-ilmuwan mereka yang mengatakan bahwa Yesus lahir pada tahnu 8 SM, tahun 6 SM, dan tahun sesudah Masehi. [Lihat Irena Handono, Perayaan Natal 25 Desember: Antara Dogma dan Toleransi, hal. 25]
Dalam kajian tersebut ditegaskan bahwa telah terjadi kesalahan sejarah dan penyelewengan literatur dalam kitab injil yang menunjukkan bahwa Nabi Isa as lahir pada tanggal 25 Desember.
Kelahiran Nabi Isa as. Padahal dalam Injil Lucas menjelaskan bahwa Nabi Isa as lahir pada masa musim gugur, yakni sekitar pada bulan Maret. Sebagai rujukan atau landasan, Al-Qur'an juga menjelaskan bahwa Nabi Isa as lahir di bawah pohon kurma yang saat itu banyak buahnya. Hal ini berarti Nabi Isa as lahir pada musim gugur.
Perhatikan ayat berikut ini,
فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا ٢٢
Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.” [QS. Maryam: 22]
فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا ٢٣
Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata: "Aduhai, Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan". [QS. Maryam: 23]
فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا ٢٤
Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: "Janganlah kamu bersedih hati, Sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” [QS. Maryam: 24]
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا ٢٥
dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,” [QS. Maryam: 25]
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا ٢٦
Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". [QS. Maryam: 26]
Dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa kelahiran Nabi Isa as adalah bukan 25 Desember, melainkan pada musim gugur kurma, karena Maryam mengambil kurma untuk makanan mereka berdua.Tidak dijelaskan secara detail kapan Nabi Isa as lahir, namun dari literatur dan kitab Injil menyatakan bahwa Nabi Isa as lahir sekitar bulan Maret, musim gugur. Rakyat Konstantinopel memperingati kelaharian Isa dengan menyembah dewa matahari pada musim gugur.
Akan tetapi, Paulus Liberus di Roma pada abad ke-4 Masehi mengubah literatur Injil dengan menyebutkan Yesus lahir pada 25 Desember. Hal itu diperuntukkan untuk menyatukan umat Kristen dan Katolik dalam perayaan Natal, karena sesungguhnya perayaan Natal itu sendiri merupakan budaya dari umat Katolik Roma pada masa Kaisar Konstantinopel.
Kaisar Konstantin melakukan persembahan dan perayaan untuk menyembah dewa matahari pada musim gugur, kemudian diikuti oleh rakyat yang akhirnya dikenal dengan Natal.
Jadi, dalam Al Qur'an telah menunjukkan bahwa Hari Natal, Hari Kelahiran Nabi Isa as bukan tanggal 25 Desember, melainkan pada musim gugur kurma, yakni sekitar bulan Maret.

2.2  Pendapat yang Mengharamkan Mengucapkan Selamat Natal
Sesungguhnya permasalahan mengucapkan selamat kepada perayaan orang-orang kafir bukanlah permasalahan yang baru, para ulama terdahulu telah membahas permasalahan ini. Akan tetapi ternyata kita dapati bahwa para ulama telah berijmak (sepakat) bahwa memberi ucapan atas perayaan orang-orang kafir hukumnya haram. Berikut perkataan para ulama dari 4 madzhab tentang permasalahan ini:
    2.2.1  Madzhab Hanafiyah
Dalam kitab-kitab fikih madzhab Hanafi termaktub sebagai berikut:
قَالَ - رَحِمَهُ اللَّهُ - (وَالْإِعْطَاءُ بِاسْمِ النَّيْرُوزِ وَالْمِهْرَجَانِ لَا يَجُوزُ) أَيْ الْهَدَايَا بِاسْمِ هَذَيْنِ الْيَوْمَيْنِ حَرَامٌ بَلْ كُفْرٌ وَقَالَ أَبُو حَفْصٍ الْكَبِيرُ - رَحِمَهُ اللَّهُ - لَوْ أَنَّ رَجُلًا عَبَدَ اللَّهَ تَعَالَى خَمْسِينَ سَنَةً ثُمَّ جَاءَ يَوْمُ النَّيْرُوزِ وَأَهْدَى إلَى بَعْضِ الْمُشْرِكِينَ بَيْضَةً يُرِيدُ تَعْظِيمَ ذَلِكَ الْيَوْمِ فَقَدْ كَفَرَ وَحَبَطَ عَمَلُهُ وَقَالَ صَاحِبُ الْجَامِعِ الْأَصْغَرِ إذَا أَهْدَى يَوْمَ النَّيْرُوزِ إلَى مُسْلِمٍ آخَرَ وَلَمْ يُرِدْ بِهِ تَعْظِيمَ الْيَوْمِ وَلَكِنْ عَلَى مَا اعْتَادَهُ بَعْضُ النَّاسِ لَا يَكْفُرُ وَلَكِنْ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ لَا يَفْعَلَ ذَلِكَ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ خَاصَّةً وَيَفْعَلُهُ قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ لِكَيْ لَا يَكُونَ تَشْبِيهًا بِأُولَئِكَ الْقَوْمِ، وَقَدْ قَالَ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.
Abul Barokaat An-Nasafi Al-Hanafi (wafat 710 H) berkata : "Dan memberikan hadiah dengan nama hari raya Nairus dan Mihrojaan tidak diperbolehkan". Yaitu memberikan hadiah-hadiah dengan nama kedua hari raya ini adalah haram bahkan kekufuran. Berkata Abu Hafsh Al-Kabiir rahimahullah: "Kalau seandainya seseorang menyembah Allah Ta'aalaa selama 50 tahun kemudian tiba hari perayaan Nairuz dan ia memberi hadiah sebutir telur kepada sebagian kaum musyrikin, karena ia ingin mengagungkan hari tersebut maka ia telah kafir dan telah gugur amalannya". Penulis kitab Al-Jaami' As-Ashghor berkata: "Jika pada hari raya Nairuz ia memberikan hadiah kepada muslim yang lain, dan dia tidak ingin mengagungkan hari tersebut akan tetapi hanya mengikuti kebiasaan/ tradisi sebagian masyarakat maka ia tidaklah kafir, akan tetapi hendaknya ia tidak melakukannya pada hari tersebut secara khusus, namun ia melakukannya sebelum atau sesudah hari tersebut agar tidak merupakan tasyabbuh dengan mereka. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda (Barang siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk dari mereka).
2.2.2  Madzhab Malikiyah
Berkata Ibnu Al-Haaj Al-Maliki (wafat 737 H):
وَبَقِيَ الْكَلَامُ عَلَى الْمَوَاسِمِ الَّتِي اعْتَادَهَا أَكْثَرُهُمْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ أَنَّهَا مَوَاسِمُ مُخْتَصَّةٌ بِأَهْلِ الْكِتَابِ فَتَشَبَّهَ بَعْضُ أَهْلِ الْوَقْتِ بِهِمْ فِيهَا وَشَارَكُوهُمْ فِي تَعْظِيمِهَا يَا لَيْتَ ذَلِكَ لَوْ كَانَ فِي الْعَامَّةِ خُصُوصًا وَلَكِنَّك تَرَى بَعْضَ مَنْ يَنْتَسِبُ إلَى الْعِلْمِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ... بَلْ زَادَ بَعْضُهُمْ أَنَّهُمْ يُهَادُونَ بَعْضَ أَهْلِ الْكِتَابِ فِي مَوَاسِمِهِمْ وَيُرْسِلُونَ إلَيْهِمْ مَا يَحْتَاجُونَهُ لِمَوَاسِمِهِمْ فَيَسْتَعِينُونَ بِذَلِكَ عَلَى زِيَادَةِ كُفْرِهِمْ ...
وَقَدْ جَمَعَ هَؤُلَاءِ بَيْنَ التَّشَبُّهِ بِهِمْ فِيمَا ذُكِرَ وَالْإِعَانَةِ لَهُمْ عَلَى كُفْرِهِمْ فَيَزْدَادُونَ بِهِ طُغْيَانًا إذْ أَنَّهُمْ إذَا رَأَوْا الْمُسْلِمِينَ يُوَافِقُونَهُمْ أَوْ يُسَاعِدُونَهُمْ، أَوْ هُمَا مَعًا كَانَ ذَلِكَ سَبَبًا لِغِبْطَتِهِمْ بِدِينِهِمْ وَيَظُنُّونَ أَنَّهُمْ عَلَى حَقٍّ وَكَثُرَ هَذَا بَيْنَهُمْ. أَعْنِي الْمُهَادَاةَ حَتَّى إنَّ بَعْضَ أَهْلِ الْكِتَابِ لَيُهَادُونَ بِبَعْضِ مَا يَفْعَلُونَهُ فِي مَوَاسِمِهِمْ لِبَعْضِ مَنْ لَهُ رِيَاسَةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَقْبَلُونَ ذَلِكَ مِنْهُمْ وَيَشْكُرُونَهُمْ وَيُكَافِئُونَهُمْ. وَأَكْثَرُ أَهْلِ الْكِتَابِ يَغْتَبِطُونَ بِدِينِهِمْ وَيُسَرُّونَ عِنْدَ قَبُولِ الْمُسْلِمِ ذَلِكَ مِنْهُمْ
Tersisa pembicaraan tentang musim-musim (hari-hari raya) yang biasa dilakukan oleh kebanyakan mereka padahal mereka mengetahui bahwasanya hari-hari raya tersebut adalah khusus hari raya ahul kitab. Maka sebagian orang zaman ini bertasyabbuh dengan mereka (ahlul kitab), menyertai mereka dalam mengagungkan hari-hari raya tersebut. Duhai seandainya tasyabbuh tersebut hanya dilakukan oleh orang-orang muslim awam, akan tetapi engkau melihat sebagian orang yang berafiliasi kepada ilmu juga melakukan hal tersebut
Bahkan sebagian mereka lebih parah lagi hingga mereka memberikan hadiah kepada sebagian ahlul kitab pada hari-hari raya mereka, mengirimkan untuk mereka apa yang mereka butuhkan dalam perayaan mereka, sehingga dengan hal ini para ahlul kitab terbantukan untuk lebih terjerumus dalam kekafiran…
Maka mereka telah menggabungkan antara tasyabbuh dengan ahlul kitab…dan membantu mereka dalam kekafiran mereka. Maka ahlul kitab semakin parah kekufuran mereka, karena jika mereka melihat kaum mulsimin menyepakati/ bertasyabbyh dengan mereka atau membantu mereka atau sekaligus dua-duanya, maka hal ini merupakan sebab menjadikan mereka senang/ bangga dengan agama mereka, dan mereka menyangka bahwasanya mereka berada di atas kebenaran, dan inilah yang banyak terjadi pada mereka, maksudku adalah saling memberi hadiah. Sampai-sampai sebagian ahlul kitab sungguh memberikan hadiah berupa sebagian hasil hari raya mereka kepada sebagaian orang yang memiliki kepemimpinan dari kalangan kaum muslimin, lalu merekapun menerima hadiah tersebut dan berterima kasih memberi balasan kepada para pemberi hadiah (ahlul kitab). Dan mayoritas ahlul kitab bangga dengan agama mereka serta bergembira tatkala ada seorang muslim yang menerima hadiah hari raya mereka.
2.2.3    Madzhab Syafi'iyyah
Para ulama madzhab Syafi'iyyah telah mengharamkan mengucapkan selamat atas hari raya orang-orang kafir. Bahkan orang yang memberi selamat ini berhak untuk dita'zir (dihukum) .
Al-Khothiib Asy-Syarbini berkata: http://www.firanda.com/images/pic-article/bthn-quraish-syihab.jpg
"Dan dita'ziir (dihukum) orang yang menyepakati orang-orang kafir dalam perayaan-perayaan mereka. Demikian juga dita'zir orang yang memegang ular dan masuk dalam api, dan orang yang berkata kepada kafir dzimmi "Yaa Haaji", dan orang yang memberi selamat kepada perayaan orang kafir, dan orang yang menamakan penziarah kuburan orang-orang sholeh sebagai haji, dan orang yang berusaha melakukan namimah".
Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata:
ثُمَّ رَأَيْت بَعْضَ أَئِمَّتِنَا الْمُتَأَخِّرِينَ ذَكَرَ ما يُوَافِقُ ما ذَكَرْتُهُ فقال وَمِنْ أَقْبَحِ الْبِدَعِ مُوَافَقَةُ الْمُسْلِمِينَ النَّصَارَى في أَعْيَادِهِمْ بِالتَّشَبُّهِ بِأَكْلِهِمْ وَالْهَدِيَّةِ لهم وَقَبُولِ هَدِيَّتِهِمْ فيه وَأَكْثَرُ الناس اعْتِنَاءً بِذَلِكَ الْمِصْرِيُّونَ وقد قال صلى اللَّهُ عليه وسلم من تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ منهم بَلْ قال ابن الْحَاجِّ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَبِيعَ نَصْرَانِيًّا شيئا من مَصْلَحَةِ عِيدِهِ لَا لَحْمًا وَلَا أُدْمًا وَلَا ثَوْبًا، وَلَا يُعَارُونَ شيئا وَلَوْ دَابَّةً إذْ هو مُعَاوَنَةٌ لهم على كُفْرِهِمْ، وَعَلَى وُلَاةِ الْأَمْرِ مَنْعُ الْمُسْلِمِينَ من ذلك.
"Kemudian aku melihat sebagian imam-imam kami dari kalangan mutakhirin (belakangan) telah menyebutkan apa yang sesuai dengan apa yang telah aku sebutkan. Ia berkata: "Dan diantara bid'ah yang paling buruk adalah kaum muslimin menyepakati kaum nashrani dalam perayaan-perayaan mereka, yaitu dengan meniru-niru mereka dengan memakan makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka, menerima hadiah dari mereka. Dan orang yang paling memberi perhatian akan hal ini adalah orang-orang Mesir. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, "Barang siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk dari mereka"
Bahkan Ibnul Haaj telah berkata, "Tidak halal bagi seorang muslim untuk menjual bagi seorang nashrani apapun juga yang berkaitan dengan kemaslahatan perayaan mereka, baik daging, sayur, maupun baju. Dan tidak boleh kaum muslimin meminjamkan sesuatupun juga kepada mereka meskipun hanya meminjamkan hewan tunggangan karena ini adalah bentuk membantu mereka dalam kekafiran mereka. Dan wajib bagi pemerintah untuk melarang kaum muslimin dari hal tersebut".
2.2.4    Madzhab Hanbali
Dalam kitab Al-Iqnaa' :
ويحرم شهود عيد اليهود والنصارى وبيعه لهم فيه ومهاداتهم لعيدهم ويحرم بيعهم ما يعملونه كنيسة أو تمثالا ونحوه وكل ما فيه تخصيص كعيدهم وتمييز لهم وهو من التشبه بهم والتشبه بهم منهي عنه إجماعا وتجب عقوبة فاعله
 "Dan haram menyaksikan perayaan yahudi dan nashoro, dan haram menjual kepada mereka dalam perayaan tersebut serta haram memberi hadiah kepada mereka karena hari raya mereka. Haram menjual kepada mereka apa yang mereka gunakan (dalam acara mereka) untuk membuat gereja atau patung dan yang semisalnya (seperti untuk buat salib dll). Dan haram seluruh perkara yang yang menunjukkan pengkhususan mereka seperti perayaan mereka, dan seluruh perkara yang menunjukkan pembedaan bagi mereka, dan ini termasuk bentuk tasyabbuh (meniru-niru) mereka, dan bertayabbuh dengan mereka diharamkan berdasarkan ijmak (kesepakatan/ konsus) para ulama. Dan wajib memberi hukuman kepada orang yang melakukan hal ini".
Ijmak ulama akan hal ini telah disebutkan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya "Ahkaam Ahli Adz-Dzimmah", beliau berkata:
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل
"Adapun memberi selamat terhadap perayaan-perayaan kufur yang khusus maka hukumnya haram berdasarkan kesepakatan (para ulama) seperti seseorang (muslim) memberi selamat kepada mereka (orang-orang kafir) atas perayaan-perayaan mereka. Maka ia berkata "Perayaan yang diberkahi atasmu…" atau "Selamat gembira dengan perayaan ini" atau yang semisalnya. Maka perbuatan seperti ini –kalau pengucapnya selamat dari kekufuran- maka perbuatan ini merupakan keharaman, dan kedudukannya seperti jika ia memberi ucapan selamat kepada orang yang sujud ke salib. Bahkan hal ini lebih parah dosanya di sisi Allah dan lebih di murkai dari pada jika ia mengucapkan selamat kepada orang yang minum khomr (bir) atau membunuh orang lain, atau melakukan zina dan yang semisalnya. Banyak orang yang tidak memiliki ilmu agama yang cukup terjerumus dalam hal ini, dan mereka tidak tahu akan buruknya perbuatan mereka."

Syaikh Ali Mahfudz Al Azhary berkata:
مما ابتلي به المسلمون وفشا بين العامة والخاصة مشاركة أهل الكتاب من اليهود والنصارى في كثير من مواسمهم كاستحسان كثير من عوائدهم ، وقد كان صلى الله عليه وسلم يكره موافقة أهل الكتاب في كل أحوالهم حتى قالت اليهود أن محمداً يريد ألا يدع من أمرنا شيئاً إلا خالفنا فيه .. فانظر هذا مع ما يقع من الناس اليوم من العناية بأعيادهم وعاداتهم ، فتراهم يتركون أعمالهم من الصناعات والتجارات والاشتغال بالعلم في تلك المواسم ويتخذونها أيام فرح وراحة يوسعون فيها على أهليهم ويلبسون أجمل الثياب ويصبغون فيها البيض لأولادهم كما يصنع أهل الكتاب من اليهود والنصارى ، فهذا وما شاكله مصداق قول النبي صلى الله عليه وسلم في الحديث الصحيح "لتتبعن سَنن من قبلكم شبراً بشبر وذراعاً بذراع حتى لو دخلوا جحر ضب لتبعتموهم" قلنا : يا رسول الله ، اليهود والنصارى ؟ قال " فمن غيرهم" رواه البخاري عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه .. فعلى من يريد السلامة في دينه وعرضه أن يحتجب في بيته في ذلك اليوم المشئوم ويمنع عياله وأهله وكل من تحت ولايته عن الخروج فيه حتى لا يشارك اليهود والنصارى في مراسمهم والفاسقين في أماكنهم ويظفر بإحسان الله ورحمته
"Diantara musibah yang menimpa kaum muslimin baik kalangan awam ataupun orang-orang khusus adalah ikut sertanya kaum muslimin pada perayaan hari-hari besar mereka (ahli kitab) baik yahudi maupun nasrani, serta menganggap baik perayaan hari besar mereka. Padahal Rasulullah shallahu alaihi wasallam sangat membenci sikap menyamai ahli kitab dalam hal apapun. Sampai-sampai orang yahudi berkata: "Sesungguhnya Muhammad tidak meninggalkan sesuatu dari urusan kami melainkan dia menyelisihi kami dalam urusan itu.."
Bandingkan sikap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan realita yang terjadi pada manusia hari ini, yaitu dengan turut sertanya mereka dalam perayaan dan kebiasaan ahli kitab. Engkau dapati pada hari-hari besar itu kaum muslimin meninggalkan pekerjaan mereka baik dipabrik-dipabrik atau meninggalkan perdagangannya dan kesibukannya dalam menuntut ilmu. Mereka menjadikan hari-hari itu sebagai hari untuk bergembira dan rehat. Mereka memanjakan keluarga, memakai baju baru, mewarnai telur untuk anak-anak sebagaimana yang dilakukan oleh ahli kitab dari kalangan yahudi dan nashrani. Hal ini dan yang semisalnya merupakan bukti kebenaran sabda Rasulullah shallahu alaihi wasallam dalam hadits shohih.
"Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Hingga apabila mereka masuk kedalam lubang dhob, kalian juga akan mengikutinya. Kami berkata: Ya Rasullah, Apakah mereka orang-orang yahudi dan nasrani, Rasul bersabda, "siapa lagi kalau bukan mereka..?" (HR. Bukhori dari Abi said Al Khudry radhiallahu anhu).
Oleh karenanya, bagi siapa saja yang menginginkan keselamatan terhadap agama dan kehormatannya. Maka hendaklah dia tetap berada di rumahnya dan melarang anak-anak dan keluarganya atau siapa saja yang berada dibawah tanggungannya untuk keluar pada hari itu. Juga mencegah mereka agar tidak ikut serta dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani pada kegiatan mereka serta kegiatan orang-orang fasiq ditempat-tempat mereka".

Dalil Naqli Mengenai Ucapan Selamat Natal untuk Umat Kristiani
Terdapat beberapa hadits Nabi yang berkenaan dengan larangan bertasyabbuh. Orang-orang muslim yang memberi ucapan atas hari besar umat non muslim dapat disamakan halnya dengan tasyabbuh.  Secara umum, umat muslim dilarang menyerupai kafir dalam hal yang menjadi kekhususan mereka. Penyerupaan inilah yang dikenal dengan istilah tasyabbuh. Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/ bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Ibnu Taimiyah rahimahullah  mengemukakan alasan mengapa sampai umat muslim dilarang meniru-niru orang kafir secara lahiriyah. Beliau berkata:
أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ
Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir”. (Majmu’ Al Fatawa, 22: 154).
Beliau juga berkata:
فَإِذَا كَانَ هَذَا فِي التَّشَبُّهِ بِهِمْ وَإِنْ كَانَ مِنْ الْعَادَاتِ فَكَيْفَ التَّشَبُّهُ بِهِمْ فِيمَا هُوَ أَبْلَغُ مِنْ ذَلِكَ ؟!
Jika dalam perkara adat (kebiasaan) saja kita dilarang tasyabbuh dengan mereka, bagaimana lagi dalam perkara yang lebih dari itu?!”. (Majmu’ Al Fatawa, 25: 332)
Berdasarkan dalil aqli di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwasanya Rasulullah SAW melarang umatnya untuk bertasyabbuh/ menyerupai kaum kafir, termasuk mengenai pemberian ucapan pada perayaan umat non muslim.
Analisis Penalaran Hukum Mengenai Ucapan Selamat Natal untuk Umat Kristiani
Melalui penalaran ta’lili yang berbentuk qiyasi, kandungan makna hadist di atas, akan dianalisis dengan menggunakan pendeka­tan  illat. Illat qiyasi adalah illat yang digunakan untuk mengetahui apakah ketentuan yang berlaku terhadap suatu  masalah dijelaskan oleh suatu dalil nash dapat diberlakukan pada ketentuan lain yang tidak dijelaskan oleh dalil nash karena adanya kesamaan diantara keduanya. Dengan kata lain, ketentuan pada masalah pertama yang ada nash dalilnya diberlakukan pada dalil kedua yang tidak terdapat dalil nashnya karena ada kesamaan illat. Dalam ushul fiqh inilah yang dinamakan dengan qiyas.
Sesuai dengan pengertian di atas, apabila ada suatu peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan oleh suatu nash dan illat hukumnya telah diketahui menurut salah satu cara dari cara-cara mengetahui illat hukum, kemudian didapatkan suatu peristiwa lain yang illat hukumnya tidak ditetapkan oleh nash, tetapi illatnya sama dengan illat hukum peristiwa yang mempunyai nash tersebut, maka hukum peristiwa yang yang tidak ada nashnya ini disamakan dengan hukum peristiwa yang ada nashnya lantaran adanya persamaan illat hukum pada kedua peristiwa tersebut.
Dalam persoalan mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani, dapat diqiyaskan dengan persoalan tasyabbuh yang telah terdapat nash-nya. Menurut hadits di atas maka dapat ditentukan beberapa unsur dan persyaratan (rukun) yang harus dipenuhi dalam qiyas sebagai berikut:
1. Ashal                : yaitu masalah pokok (maqis ‘alaih) adalah suatu peristiwa yang sudah ada nashnya. Dalam hal ini ialah tindakan kaum muslim di zaman Rasulullah dulu yang mengikuti adat istiadat kaum non muslim/ kafir.
2. Far’u (cabang) : yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya dan peristiwa itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya. Far’u ini juga disebut maqis. Dalam hal ini ialah ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani.
3. Hukum ashal    : Dalam hal ini ialah haram karena dianggap sebagai tasyabbuh. Dan Rasulullah telah melarang hal tersebut sesuai dengan hadits di atas.
4. Illat                   : yaitu suatu sifat atau keadaan yang terdapat pada peristiwa ashal dan peristiwa far’u (cabang). Dalam hal ini ialah “tasyabbuh” tersebut yang diposisikan sebagai iilat, karena banyaknya pendapat ulama’ yang berpendapat demikian, sehingga diperoleh illat yang sama. Maka, hukum illat di kasus hukum masa yang sebelumnya masih bisa berlaku dengan illat hukum kasus yang seperti ini pula di masa sekarang.

Adapun pendapat yang lainnya:

Ibnul Qoyyim al-Jauziyah (Ahkam Ahl al-Dzimmah, I/441) dan para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baz, Syeikh Ibnu Utsaimin—semoga Allah merahmati mereka—serta yang lainnya seperti Syeikh Ibrahim bin Muhammad al Huqail berpendapat bahwa mengucapkan selamat Hari Natal hukumnya adalah haram karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama mereka. Allah tidak meridhai adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya di dalam pengucapan selamat kepada mereka adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka dan hal ini diharamkan.
Di antara bentuk-bentuk tasyabbuh adalah ikut serta di dalam hari raya tersebut dan mentransfer perayaan-perayaan mereka ke negeri-negeri Islam.
Mereka juga berpendapat wajib menjauhi berbagai perayaan orang-orang kafir, menjauhi dari sikap menyerupai perbuatan-perbuatan mereka, menjauhi berbagai sarana yang digunakan untuk menghadiri perayaan tersebut, tidak menolong seorang muslim di dalam menyerupai perayaan hari raya mereka, tidak mengucapkan selamat atas hari raya mereka serta menjauhi penggunaan berbagai nama dan istilah khusus di dalam ibadah mereka.
Pemberian ucapan selamat Natal baik dengan lisan, telepon, sms, email ataupun pengiriman kartu berarti sudah memberikan pengakuan terhadap agama mereka dan rela dengan prinsip-prinsip agama mereka. Hal ini dilarang oleh Allah swt dalam firman-Nya:
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ Ÿ
Artinya : “Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az Zumar : 7)
Jadi pemberian ucapan Selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani baik ia kerabat, teman dekat, tetangga, teman kantor, teman sekolah dan lainnya adalah haram hukumnya.
Islam memerintahkan setiap umatnya untuk bisa membedakan penampilannya dari orang-orang non muslim, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
Bedakanlah dirimu dari orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar ra)
Islam melarang umatnya untuk meniru-niru berbagai perilaku yang menjadi bagian ritual keagamaan tertentu di luar Islam atau mengenakan simbol-simbol yang menjadi ciri khas mereka seperti mengenakan salib atau pakaian khas mereka. Rasulullah saw bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ».
Siapa yang meniru suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud dai Ibnu Umar ra). Syekh Al-Albani menilai hadis tersebut hasan shahih (Sunan Abu Dawud,II/441)

2.3  Pendapat yang Memperbolehkan Mengucapkan Selamat Natal

Syeikh Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa merayakan hari raya agama adalah hak masing-masing agama. Selama tidak merugikan agama lain. Dan termasuk hak tiap agama untuk memberikan tahni’ah saat perayaan agama lainnya. Maka kami sebagai pemeluk Islam, agama kami tidak melarang kami untuk memberikan tahni’ah kepada non muslim warga negara kami atau tetangga kami dalam hari besar agama mereka. Bahkan perbuatan ini termasuk ke dalam kategori al-birr (perbuatan yang baik). Sebagaimana firman Allah SWT:

يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah, 8)”
Kebolehan memberikan tahni’ah ini terutama bila pemeluk agama lain itu juga telah memberikan tahni’ah kepada kita dalam perayaan hari raya. Allah berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
“Artinya: Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu. (QS. An-Nisa’: 86)”
Namun Syeikh Yusuf Al-Qaradawi secara tegas mengatakan bahwa tidak halal bagi seorang muslim untuk ikut dalam ritual dan perayaan agama yang khusus milik agama lain.
Dr.Musthafa Ahmad Zarqa’, dalam bank fatwa situs www.Islamonline.net, menyatakan bahwa tidak ada dalil yang secara tegas melarang seorang muslim mengucapkan tahniah kepada orang kafir. Beliau mengutip hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah berdiri menghormati jenazah Yahudi. Penghormatan dengan berdiri ini tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kebenaran agama yang dianut jenazah tersebut. Sehingga menurut beliau, ucapan tahni’ah (ucapan selamat) kepada saudara-saudara pemeluk kristiani yang sedang merayakan hari besar mereka, tidak terkait dengan pengakuan atas kebenaran keyakinan mereka, melainkan hanya bagian dari mujamalah (basa-basi) dan muhasanahseorang muslim kepada teman dan koleganya yang kebetulan berbeda agama.
Beliau juga memfatwakan bahwa karena ucapan tahni’ah ini dibolehkan, maka pekerjaan yang terkait dengan hal itu seperti membuat kartu ucapan selamat natal pun hukumnya ikut dengan hukum ucapan natalnya. Namun beliau menyatakan bahwa ucapan tahni’ah ini harus dibedakan dengan ikut merayakan hari besar secara langsung, seperti dengan menghadiri perayaan-perayaan natal yang digelar di berbagai tempat. Menghadiri perayatan natal dan upacara agama lain hukumnya haram dan termasuk perbuatan mungkar.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam fatwanya tahun 1981 tidak secara tegas menyatakan hukum mengucapkan selamat natal, tetapi senada dengan pandangan al-Qardhawi dan al-Zarqa, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa bahwa “Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram”.
Fatwa Dr. Yusuf Al-Qaradawi
Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi mengatakan bahwa merayakan hari raya agama adalah hak masing-masing agama. Selama tidak merugikan agama lain. Dan termasuk hak tiap agama untuk memberikan tahni'ah saat perayaan agama lainnya.

Maka kami sebagai pemeluk Islam, agama kami tidak melarang kami untuk untuk memberikan tahni'ah kepada non muslim warga negara kami atau tetangga kami dalam hari besar agama mereka. Bahkan perbuatan ini termasuk ke dalam kategori al-birr (perbuatan yang baik). Sebagaimana firman Allah SWT:

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Kebolehan memberikan tahni'ah ini terutama bila pemeluk agama lain itu juga telah memberikan tahni'ah kepada kami dalam perayaan hari raya kami.

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.(QS. An-Nisa': 86)

Namun Syeikh Yusuf Al-Qaradawi secara tegas mengatakan bahwa tidak halal bagi seorang muslim untuk ikut dalam ritual dan perayaan agama yang khusus milik agama lain.
Fatwa Dr. Mustafa Ahmad Zarqa'

Di dalam bank fatwa situs Islamonline.com, Dr. Mustafa Ahmad Zarqa', menyatakan bahwa tidak ada dalil yang secara tegas melarang seorang muslim mengucapkan tahniah kepada orang kafir.

Beliau mengutip hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah berdiri menghormati jenazah Yahudi. Penghormatan dengan berdiri ini tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kebenaran agama yang diajut jenazah tersebut.

Sehingga menurut beliau, ucapan tahni'ah kepada saudara-saudara pemeluk kristiani yang sedang merayakan hari besar mereka, juga tidak terkait dengan pengakuan atas kebenaran keyakinan mereka, melainkan hanya bagian dari mujamalah (basa-basi) dan muhasanah seorang muslim kepada teman dan koleganya yang kebetulan berbeda agama.

Dan beliau juga memfatwakan bahwa karena ucapan tahni'ah ini dibolehkan, maka pekerjaan yang terkait dengan hal itu seperti membuat kartu ucapan selamat natal pun hukumnya ikut dengan hukum ucapan natalnya.

Namun beliau menyatakan bahwa ucapan tahni'ah ini harus dibedakan dengan ikut merayakan hari besar secara langsung, seperti dengan menghadiri perayaan-perayaan natal yang digelar di berbagai tempat. Menghadiri perayatan natal dan upacara agama lain hukumnya haram dan termasuk perbuatan mungkar.
Majelis Fatwa dan Riset Eropa
Majelis Fatwa dan Riset Eropa juga berpendapat yang sama dengan fatwa Dr. Ahmad Zarqa' dalam hal kebolehan mengucapkan tahni'ah, karena tidak adanya dalil langsung yang mengharamkannya.
Fatwa Dr. Abdussattar Fathullah Said
Dr. Abdussattar Fathullah Said adalah profesor bidang tafsir dan ulumul quran di Universitas Al-Azhar Mesir. Dalam masalah tahni'ah ini beliau agak berhati-hati dan memilahnya menjadi dua. Ada tahni'ah yang halal dan ada yang haram.
Tahni'ah yang halal adalah tahni'ah kepada orang kafir tanpa kandungan hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Hukumnya halal menurut beliau. Bahkan termasuk ke dalam bab husnul akhlaq yang diperintahkan kepada umat Islam.
Sedangkan tahni'ah yang haram adalah tahni'ah kepada orang kafir yang mengandung unsur bertentangan dengan masalah diniyah, hukumnya haram. Misalnya ucapan tahniah itu berbunyi, "Semoga Tuhan memberkati diri anda sekeluarga." Sedangkan ucapan yang halal seperti, "Semoga tuhan memberi petunjuk dan hidayah-Nya kepada Anda."
Bahkan beliau membolehkan memberi hadiah kepada non muslim, asalkan hadiah yang halal, bukan khamar, gambar maksiat atau apapun yang diharamkan Allah.










PENUTUP
KESIMPULAN

Dari pendapat diatas, terdapat pendapat moderat yang mungkin bisa lebih kita pertimbangkan.
Selain adanya dua pandangan yang saling bertentangan tersebut di atas, yaitu antara yang mengharamkan dan membolehkan, ada juga pandangan yang moderat, tengah-tengah anatara dua pandangan sebelumnya, yakni tidak mengharamkan secara mutlak tapi juga tidak membolehkan secara mutlak. Pendapat ketiga ini memilah-milah antara ucapan yang benar-benar haram dan ucapan yang masih bisa ditolelir.
Dr. Abdussattar Fathullah Said, Profesor di bidang Ilmu Tafsir dan Ulumul-Quran di Universitas Al-Azhar Mesir, dalam masalah tahni’ah ini beliau berhati-hati dan memilahnya menjadi dua yaitu ada tahni’ah yang halal dan ada yang haram.
1. Tahni’ah yang halal adalah tahni’ah kepada orang kafir tanpa kandungan hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Hukumnya halal menurut beliau. Bahkan termasuk ke dalam bab husnul akhlaq yang diperintahkan kepada umat Islam.
Contohnya ucapan, “Semoga Tuhan memberi petunjuk dan hidayah-Nya kepada Anda di hari ini .” Beliau cenderung membolehkan ucapan seperti ini.
2. Tahni’ah yang haram adalah tahni’ah kepada orang kafir yang mengandung unsur bertentangan dengan masalah diniyah, hukumnya haram.
Misalnya ucapan tahniah itu berbunyi, ” Semoga Tuhan memberkati diri anda sekeluarga.” Beliau membolehkan memberi hadiah kepada non muslim, asalkan hadiah yang halal, bukan khamar, gambar maksiat atau apapun yang diharamkan Allah.
Termasuk dalam kelompok pendapat yang moderat adalah membedakan hukum antara mengucapkan selamat natal karena terpaksa dengan yang tidak karena terpaksa. Jika seorang muslim berada di antara lingkungan mayoritas orang-orang Nasrani, seperti muslim yang tempat tinggalnya di antara rumah-rumah orang Nasrani, pegawai yang bekerja dengan orang Nasrani, seorang siswa di sekolah Nasrani, seorang pebisnis muslim yang sangat tergantung dengan pebisinis Nasrani atau kaum muslimin yang berada di daerah-daerah atau negeri-negeri non muslim maka boleh memberikan ucapan selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani yang ada di sekitarnya tersebut disebabkan situasi “keterpaksaan”. Ucapan selamat yang keluar darinya pun harus tidak dibarengi dengan keridhaan di dalam hatinya serta diharuskan baginya untuk beristighfar dan bertaubat.
Di antara kondisi terpaksa misalnya; jika seorang pegawai muslim tidak mengucapkan Selamat Hari Natal kepada boss atau atasannya maka ia akan dipecat, karirnya dihambat, dikurangi hak-haknya. Atau seorang siswa muslim apabila tidak memberikan ucapan Selamat Natal kepada Gurunya maka kemungkinan ia akan ditekan nilainya, diperlakukan tidak adil, dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal di suatu daerah atau negara non muslim apabila tidak memberikan Selamat Hari Natal kepada para tetangga Nasrani di sekitarnya akan mendapatkan tekanan sosial dan lain sebagainya. Pendapat ini berdasarkan kepada firman Allah swt sbb:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. (QS. Al-Nahl, 106).
Adapun apabila keadaan atau kondisi sekitarnya tidak memaksa atau mendesaknya dan tidak ada pengaruh sama sekali terhadap karir, jabatan, hak-hak atau perlakuan orang-orang Nasrani sekelilingnya terhadap diri dan keluarganya maka tidak diperbolehkan baginya mengucapkan Selamat Hari Natal kepada mereka.
25 Desember Bukan Hari Lahir Nabi Isa
Lepas dari perdebatan seputar fatwa haramnya mengucapkan selamat natal, ada masalah yang lebih penting lagi. Yaitu kesepakatan para ahli sejarah bahwa Nabi Isa sendiri tidak lahir di tanggal tersebut. Tidak pernah ada data akurat pada tanggal berapakah beliau itu lahir. Yang jelas 25 Desember itu bukanlah hari lahirnya karena itu adalah hari kelahiran anak Dewa Matahari di cerita mitos Eropa kuno. Mitos itu pada sekian ratus tahun setelah wafatnya nabi Isa masuk begitu saja ke dalam ajaran kristen lalu diyakini sebagai hari lahir beliau. Padahal tidak ada satu pun ahli sejarah yang membenarkannya. Bahkan British Encyclopedia dan American Ensyclopedia sepakat bahwa tanggal 25 Desember bukanlah hari lahirnya Isa as.
Jadi kalau pun ada sebagian kalangan yang tidak mengharamkan ucapan selamat natal, ketika diucapkan pada even natal, ucapan itu mengandung sebuah kesalahan ilmiyah yang fatal. (dirujuk dari berbagai sumber).
Wallahu A’lam bishshawab !

DAFTAR PUSTAKA

Al Ibdaa' fi madhaaril ibtidaa' 274-276
Al-Bakry, Yusuf bin Ahmad dan Syaakir bin Taufiiq. 1418 H/1997 M. Ahkaam Ahli         Adz-Dzimmah 1/441. Romaady li An-Nasyr
Al-Fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubro 4/238
Al-Iqnaa' fi Fiqh Al-Imam Ahmad bin Hanbal 2/49
Al-Madkhol 2/46-48
Al-Mishri, Ibnu Nujaim. Al-Bahr Ar-Rooiq Syarh Kanz Ad-Dqooiq 8/555
Az-Zaila'i. Tabyiinul Haqooiq Syarh Kanz Ad-Daqooiq 6/228.
Kamal, Zainul, dkk. 2004. Fiqih Lintas Agama. Jakarta: Paramadina
Mughni Al-Muhtaaj 4/255
Widyosiswoyo, Supartono. 2009. Ilmu Budaya Dasar. Bogor: Ghalia Indonesia

No comments:

Post a Comment